MATA INDONESIA, MANILA – Rodrigo Duterte merupakan salah satu pemimpin negara di dunia yang tegas dalam memerangi narkoba. Presiden Filipina itu bahkan siap menanggung segala risiko, termasuk dakwaan yang bisa membuatnya dipenjara karena memerintahkan pembunuhan.
Presiden Duterte juga menegaskan bahwa ia tidak akan pernah meminta maaf atas kematian tersangka pengguna dan pengedar narkoba yang terbunuh dalam operasi polisi di bawah perintahnya untuk memerangi narkoba – sesuatu yang mengkhawatirkan kelompok-kelompok hak asasi manusia.
Lebih dari 6.200 tersangka narkoba tewas dalam operasi antinarkotika sejak Duterte menjabat sebagai Presiden Filipina pada Juni 2016 hingga November 2021, menurut data pemerintah.
“Saya tidak akan pernah, tidak pernah meminta maaf atas kematian itu. Bunuh saya, penjarakan saya. Ingat, saya tidak akan pernah meminta maaf,” tegas Presiden Duterte,” dalam pidato nasional mingguan, melasir Reuters, Rabu, 5 Januari 2022.
Kelompok hak asasi dan kritikus mengatakan penegak hukum telah mengeksekusi para tersangka narkoba. Akan tetapi, polisi mengatakan mereka yang terbunuh adalah mereka yang memiliki senjata dan melakukan perlawanan saat penangkapan.
Dalam pidato nasional pertamanya tahun ini, Presiden Duterte bersumpah melindungi penegak hukum yang melakukan tugas mereka dan memberitahu mereka untuk melawan ketika hidup mereka dalam bahaya.
Presiden berusia 76 tahun itu memenangkan kursi kepresidenan Filipina tahun 2016 secara signifikan. Kala itu Duterte mengusung platform anti-korupsi dan hukum serta ketertiban.
Sayang, Duterte secara konstitusional dilarang mencalonkan diri kembali pada pemilihan presiden tahun depan. Analis mengatakan sekutu yang terpilih dapat melindungi Duterte dari tindakan hukum apa pun atas program anti-narkotikanya.
Hakim di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) bulan September menyetujui penyelidikan formal terhadap perang Duterte terhadap narkoba. ICC menangguhkan penyelidikan pada November menyusul permintaan langsung Filipina.
Pada Maret 2018, Presiden Duterte secara sepihak membatalkan keanggotaan ICC Filipina, sebulan setelah jaksa mengatakan pemeriksaan pendahuluan atas perang narkoba sedang berlangsung.
Ribuan pembunuhan tersangka kasus narkoba telah dilaporkan oleh aparat kepolisian, tetapi pengawas hal asasin manusia menduga jumlah kematian jauh lebih besar dari yang dilaporkan.
“Jika ada pembunuhan di sana, saya akan mengatakan bahwa saya adalah orangnya. Anda dapat meminta pertanggungjawaban saya atas apa pun, kematian apa pun yang terjadi dalam pelaksanaan perang narkoba,” kata Duterte, kala itu.
“Jika Anda terbunuh itu karena saya marah dengan obat-obatan. Jika itu yang saya katakan, maka bawa saya ke pengadilan untuk dipenjara. Baik, saya tidak punya masalah. Jika saya melayani negara saya dengan masuk penjara, dengan senang hati,” tuntasnya.