AS-Jepang Sepakat Bersatu Lawan Cina, Bakal Perang?

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Sambutan Presiden Amerika Serikat Joe Biden atas kedatangan Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga di Gedung Putih, Jumat 16 April 2021, membawa kesepakatan baru antara kedua negara.

Biden menyebut, AS dan Jepang sama-sama akan bergerak mengambil langkah yang tegas untuk melawan Cina.

“Kami akan bekerja sama untuk membuktikan bahwa demokrasi masih dapat bersaing dan menang di abad ke-21. Kami berkomitmen untuk bekerja sama menghadapi tantangan dari Cina dan masalah-masalah seperti Laut Cina Timur, Laut Cina Selatan, serta Korea Utara,” kata Biden, seperti dikutip dari AFP, Sabtu 17 April.

Sementara Suga menyebut, kedua negara akan menegaskan kembali Perjanjian Keamanan AS-Jepang yang mencakup perairan Senkaku, yang merupakan wilayah kekuasaan Negeri Sakura.

Wilayah tersebut, sebelumnya sempat diklaim oleh Cina sebagai bagian dari kedaulatan negara mereka.

“Kami setuju untuk menentang segala upaya untuk mengubah status quo dengan kekerasan atau paksaan di laut Cina Timur dan Selatan dan intimidasi terhadap orang lain di kawasan itu. Kebebasan, demokrasi, hak asasi manusia dan supremasi hukum adalah nilai-nilai universal yang menghubungkan aliansi kita,” ujar Suga.

Suga juga menyebut AS menyatakan perdamaian dan stabilitas Selat Taiwan sangat penting setelah Cina meningkatkan aktivitas udara di lokasi tersebut.

Kemudian, kesepakatan juga meliputi aksi nyata dalam penanganan perubahan iklim global. Dalam waktu dekat, baik AS dan Jepang akan sama-sama mengumumkan arah tujuan perubahan iklim untuk 2030.

Jepang bersama AS juga menyetujui anggaran 2 miliar dolar AS untuk pengembangan jaringan internet 5G, sebagai upaya bersaing terhadap Cina, yang sudah mencuri start lebih awal.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini