MATA INDONESIA, JAKARTA – Oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) masih saja rakus di saat semua masyarakat sedang mengalami kondisi ekonomi yang sulit. Dua pejabat pembuat komitmen (PPK) Kementerian Perdagangan (Kemendag) menjadi tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan gerobak dagang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Tahun Anggaran 2018-2019 di Kemendag.
Keduanya menerima suap senilai Rp1,9 miliar. ”Berdasarkan alat bukti yang kita dapatkan dalam proses penyidikan cukup kuat menerima suap Rp800 juta untuk (tersangka) Tahun Anggaran 2018. Untuk (tersangka) Tahun Anggaran 2019 menerima suap Rp1,1 miliar,” kata Direktur Tindak Pidana Korupsi (Dittipdikor) Bareskrim Polri Brigjen Cahyono Wibowo, Kamis, 8 September 2022.
Tersangka dalam pengadaan gerobak dagang Tahun Anggaran 2018 adalah Putu Indra Wijaya. Putu adalah PPK yang menjabat sebagai Kabag Keuangan Setditjen PDN Kemendag.
Sedangkan, tersangka dalam pengadaan gerobak dagang Tahun Anggaran 2019 ialah Bunaya Priambudi.
Bunaya adalah Kasubag Tata Usaha (TU) di Direktorat Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN) pada Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (DJPDN) Kemendag.
Cahyono menuturkan suap Rp 800 juta yang diterima Putu Indra Wijaya itu dalam rangka mendapatkan pekerjaan pengadaan gerobak pada 2018. Menurut dia, ada korespondensi antara PPK dan para pihak sebagai pelaksanaan pekerjaan.
Dalam penunjukan pelaksana pekerjaan proyek pengadaan gerobak dagang itu ada lelang. Sebelum lelang, Putu beberapa kali bertemu dan bermufakat dengan penyedia barang dan jasa, yakni BW dan M untuk mengatur lelang menjadi milik BW dan M.
”Putu meminta uang sebesar Rp800 juta kepada BW dan M dengan jaminan pekerjaan pembuatan gerobak dagang milik BW dan M. Saudara BW menggunakan perusahaan PT PDM,” ujar Cahyono.
Kemudian, dalam proses lelang dengan metode pascakualifikasi dua file sistem nilai, Putu memengaruhi dan bersepakat dengan tim kelompok kerja (Pokja) untuk memenangkan perusahaan milik BW dan M. Yakni dengan cara menambahkan persyaratan memiliki pengalaman sejenis dan dalam penilaian PPK ikut menilai. ”Pokja menerima uang sebesar Rp 600 juta),” ujar Cahyono.
Pada 17 Oktober 2018, terjadi penandatangan kontrak antara PPK, yakni Putu Indra Wijaya dan perusahaan BW, PT Piramida Dimensi Milenia. Nilai kontrak Kemendag sebesar Rp 49 miliar untuk 7.200 gerobak. Kemendag memberikan waktu lama pengerjaan 75 hari kalender.
Setelah kontrak ditandatangani, perusahaan pendukung mengundurkan diri dengan alasan ketidakcocokan harga. Atas hal itu, PPK sepakat dengan BW selaku pemenang lelang mengalihkan pembuatan gerobak kepada pihak lain yang tidak ada dalam kontrak dan tanpa ikatan berupa perjanjian kerja sama (PKS).
Sampai 31 Desember 2018 kontrak berakhir. Gerobak dagang yang selesai pengerjaanya hanya sampai 450 unit. Kemudian, sampai Desember 2019, gerobak dagang yang dikerjakan hanya 2.500 unit dari 7.200 sesuai kontrak.
“Sisanya, 4.700 unit tidak ada pertanggungjawaban PPK dan perusahaan penyedia fiktif,” ujar Cahyono.
Perbuatan rasuah itu menimbulkan kerugian keuangan negara Rp30 miliar berdasarkan perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Cahyono mengendus ada beberapa pihak lain yang menerima uang haram dari proyek tersebut.
Sementara Bunaya Priambudi, petugas PPK yang menjabat sebagai Kasubag TU menerima suap Rp1,1 miliar untuk proyek pengadaan gerobak Tahun Anggaran 2019. Uang haram itu sebenarnya untuk menutupi penggantian ganti rugi terhadap suatu peristiwa pidana tersebut.
“Jadi ada Rp1,1 miliar suap dan uangnya untuk pembayaran ganti rugi terhadap pekerjaan yang lain,” kata Cahyono.
Penerimaan suap itu berawal saat Bunaya beberapa kali bertemu dan bermufakat dengan penyedia jasa BW dan M. Bunaya meminta uang Rp400 juta kepada BW dan M untuk keperluan pribadinya.
Kedua tersangka terjerat Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 dan atau perbuatan menerima hadiah. Atau janji untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya sebagaimana dalam Pasal 5 ayat 2 atau Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana telah ubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Dengan ancaman minimal penjara 18 tahun dan maksimal hukuman mati.