MATA INDONESIA, JAKARTA – Memperkuat analisis gender penting untuk memahami korban terorisme yang terjadi pada perempuan. Hal ini disebabkan perempuan memiliki sumber resistensi yang berbeda dengan laki-laki. Director The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia Dwi Rubiyanti Kholifah mengatakan bahwa pemahaman mendalam tentang analisa gender bisa membantu melawan penetrasi ideologi.
“Agar bisa membaca sumber resistensi yang dimiliki oleh perempuan maupun laki-laki, karena disitulah kita bisa lakukan perlawanan terhadap penetrasi ideologi,” kata Dwi Rubiyanti dalam Webinar bertema Rencana Aksi Nasional Pencegahan Ekstremisme: Menangkal Resiliensi Ancaman Teroris di Indonesia, Selasa 16 Maret 2021.
Ia juga mengatakan melalui pemahaman analisis gender, maka proses tindak lanjut bisa dilakukan terhadap perempuan yang sudah terpapar ideologi radikalisme.
Latar belakang keluarga serta pengalaman pribadi bisa ditelisik dengan pemahaman analisa gender yang mendalam.
“tanpa analisa gender, sulit untuk treatment terhadap korban bom struggle beda-beda antara laki- dan perempuan,” kata Dwi Rubiyanti.
Contoh yang relevan dapat dilihat dari mantan buruh migran di Hongkong bernama Ika Puspita Sari yang terbukti mendanai rencana aksi teror di Bandung, Jawa Barat.
Hal ini bermula dari Hong Kong, yaitu saat Ika merekrut empat orang untuk merencakan aksi pengeboman. Pergerakannya pun terhenti saat ditangkap oleh Densus 88.
“Ika sebagai buruh migran, dia harus serah income kepada keluarga, no matter keluarganya memperlakukan income seperti apa. Kita lihat powerless yang kuar biasa pada posisi Ika, ada ketidaksetaraan yg dialami dan menikmati budaya baru lalu kembali secara spiritulaitas dan memilih agama sebagai jalan keluar dan bertemu ISIS dan menjadi empower ketika di baiat ISIS,” kata Dwi Rubiyanti.
Dwi Rubiyanti menilai untuk memahami fenomena ini, analisa gender penting untuk memahami push dan pull factor setiap orang dengan men-tracking pengalaman mereka baik laki-laki maupun perempuan.