Alhamdulillah, Pegawai Honorer Juga Dapat Bantuan Rp 600 Ribu per Bulan

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Dari yang mulanya hanya diperuntukkan bagi karyawan swasta, kini pemerintah memperluas penerima bantuan Rp 600 ribu per bulan kepada pegawai pemerintah non PNS atau honorer, termasuk guru.

“Kita akomodasi temen-temen pekerja pegawai pemerintah non PNS yang mereka tidak mendapatkan gaji ke-13 dan rata-rata mereka kan upahnya upah minimum provinsi,” kata Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dalam sebuah acara di televisi swasta, Rabu 12 Agustus 2020.

“Jadi karena kita memperluas penerima maka sekarang totalnya 15,7 juta,” ujarnya menambahkan.

Untuk menerima bantuan Rp 600 ribu per bulan itu, Ida berkata para pegawai honorer harus terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan.

Sementara Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, pendataan menjadi masalah dalam program ini. Menurutnya, dengan kondisi data yang tidak bagus sulit dijangkau semua.

“Untuk pekerja-pekerja sektor informal tadi. Ini sebetulnya kalau mau dijangkau data di perusahaan karena sifanya, freelancer apakah itu pekerja borongan itu ada. Tapi sekarang kalau pemerintah inginnya karena dananya dari anggaran pemerintah harus ada pertanggungjawabannya ini yang memang perlu dipikirkan pemerintah,” kata Hariyadi.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini