“Media sosial, jika dikelola dengan benar, dapat menjadi alat komunikasi yang memperkuat demokrasi”
Oleh Nuke Azwita
Mata Indonesia, Jakarta – Di era digital, media sosial telah menjadi saluran utama komunikasi massa yang memfasilitasi pertukaran informasi dengan cepat. Dalam kerangka teori komunikasi, media sosial dapat dilihat sebagai platform interaksi yang bersifat dialogis (two-way communication) dan memungkinkan model komunikasi transaksional, di mana audiens tidak hanya menjadi penerima pesan tetapi juga pengirim (prosumer). Namun, sifat interaktif ini menghadirkan tantangan, terutama ketika pemerintah menggunakan media sosial sebagai alat propaganda.
Propaganda dalam Perspektif Komunikasi
Propaganda, dalam teori komunikasi massa, sering kali dianggap sebagai bentuk komunikasi persuasif yang dirancang untuk memengaruhi sikap, opini, dan perilaku audiens. Dalam konteks media sosial, propaganda pemerintah sering memanfaatkan teori Agenda Setting, di mana pemerintah berupaya mengarahkan perhatian publik pada isu-isu tertentu sambil mengabaikan isu lainnya. Selain itu, melalui pendekatan Framing Theory, narasi yang disampaikan dapat dikemas sedemikian rupa sehingga membentuk persepsi tertentu sesuai dengan agenda politik.
Keunggulan media sosial dibandingkan media tradisional adalah kemampuan personalisasi konten melalui algoritma. Ini sesuai dengan teori Uses and Gratifications, di mana audiens mencari konten yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi mereka. Namun, pemerintah dapat memanipulasi kebutuhan ini dengan memanfaatkan algoritma untuk memprioritaskan narasi tertentu. Dengan demikian, propaganda di media sosial dapat menjadi lebih efektif dan sulit dikenali oleh audiens.
Media Sosial: Antara Informasi dan Manipulasi
Dari perspektif komunikasi, penggunaan media sosial oleh pemerintah untuk menyampaikan informasi memiliki potensi besar untuk meningkatkan komunikasi dua arah dengan masyarakat. Dalam teori Dialogic Communication, media sosial dapat digunakan untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan antara pemerintah dan masyarakat. Misalnya, melalui penyampaian informasi selama pandemi COVID-19, pemerintah dapat memanfaatkan media sosial untuk memberikan informasi yang akurat dan mendukung partisipasi publik.
Namun, ketika media sosial digunakan untuk manipulasi, pemerintah sering kali memanfaatkan teknologi seperti bot atau akun palsu untuk menyebarkan narasi politik. Pendekatan ini selaras dengan konsep Spiral of Silence, di mana opini mayoritas yang diperkuat secara artifisial dapat membuat audiens dengan opini berbeda enggan berbicara. Akibatnya, media sosial tidak lagi menjadi ruang publik yang sehat, melainkan menjadi alat hegemonik untuk mengontrol opini.
“Etika komunikasi menekankan bahwa pesan yang disampaikan harus jujur dan tidak menyesatkan.”
Tantangan Etika dalam Pengelolaan Media Sosial
Dalam teori komunikasi etika, prinsip transparansi dan akuntabilitas menjadi sangat penting. Etika komunikasi menekankan bahwa pesan yang disampaikan harus jujur dan tidak menyesatkan. Namun, propaganda di media sosial sering kali melanggar prinsip ini. Dengan menyembunyikan sumber asli informasi atau memanfaatkan data pribadi tanpa izin, pemerintah dapat melanggar privasi dan integritas komunikasi.
Lebih jauh lagi, teori Privacy Management menunjukkan bahwa pengguna media sosial memiliki ekspektasi tertentu terkait pengelolaan informasi pribadi mereka. Ketika pemerintah menggunakan data pengguna untuk menargetkan kampanye propaganda, ekspektasi ini dilanggar, menciptakan ketidakpercayaan dan resistensi terhadap institusi pemerintah.
Regulasi dan Akuntabilitas dalam Perspektif Komunikasi
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan regulasi yang jelas yang mempromosikan etika komunikasi. Salah satu pendekatan adalah penerapan teori Gatekeeping, di mana platform media sosial bertindak sebagai penjaga informasi dan memastikan bahwa hanya konten yang sesuai dengan standar etika yang dapat tersebar luas. Regulasi ini harus mencakup transparansi dalam kampanye pemerintah, termasuk labelisasi konten berbayar atau konten bersponsor.
Selain itu, partisipasi masyarakat dalam proses komunikasi dapat diperkuat melalui literasi digital. Berdasarkan konsep Empowerment Theory, edukasi literasi digital dapat membantu audiens mengenali bias, propaganda, dan teknik manipulasi. Dengan demikian, masyarakat dapat berperan aktif dalam menjaga integritas ruang publik digital.
Peran Media Sosial dalam Demokrasi
Media sosial, jika dikelola dengan benar, dapat menjadi alat komunikasi yang memperkuat demokrasi. Dalam teori Public Sphere, media sosial memiliki potensi untuk menjadi ruang diskusi yang inklusif dan memungkinkan dialog antara pemerintah dan masyarakat. Namun, propaganda yang tidak etis dapat merusak fungsi ini, menjadikannya alat untuk kontrol daripada partisipasi.
Oleh karena itu, pendekatan yang bertanggung jawab harus mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan komunikasi yang dialogis. Dalam era di mana teknologi semakin mendominasi komunikasi, penting bagi pemerintah untuk memahami implikasi etis dari penggunaan media sosial. Dengan memprioritaskan prinsip-prinsip komunikasi yang etis, media sosial dapat menjadi sarana untuk memperkuat hubungan antara pemerintah dan masyarakat, bukan untuk memanipulasi atau mengontrol opini publik.
Rekomendasi untuk Pemerintah ke Depannya
Untuk memastikan pengelolaan media sosial yang lebih bertanggung jawab dan etis, pemerintah dapat mengambil langkah-langkah berikut:
1. Mengutamakan Transparansi: Setiap kampanye yang dilakukan di media sosial harus disertai dengan informasi yang jelas mengenai sumber pendanaan dan tujuan komunikasinya. Transparansi ini penting untuk membangun kepercayaan publik.
2. Menyusun Kebijakan yang Ketat: Pemerintah perlu merumuskan kebijakan internal yang melarang penggunaan akun palsu, bot, atau teknik manipulasi lainnya dalam kampanye media sosial. Kebijakan ini harus diimplementasikan secara konsisten.
3. Meningkatkan Literasi Digital Masyarakat: Pemerintah dapat menyelenggarakan program pendidikan publik untuk meningkatkan kesadaran akan teknik propaganda digital, bias informasi, dan cara mengenali konten manipulatif.
4. Bermitra dengan Platform Media Sosial: Kerja sama dengan platform media sosial untuk mengembangkan alat yang dapat mengidentifikasi dan menandai propaganda atau konten yang tidak sesuai dengan standar etika adalah langkah penting untuk menjaga integritas informasi.
5. Membangun Ruang Dialogis: Media sosial harus digunakan untuk membangun komunikasi yang inklusif dan dialogis antara pemerintah dan masyarakat. Ini melibatkan mendengarkan umpan balik dari masyarakat dan memberikan respons yang sesuai.
6. Mengintegrasikan Prinsip Etika dalam Setiap Kampanye: Setiap strategi komunikasi yang dilakukan melalui media sosial harus berpedoman pada prinsip-prinsip etika komunikasi, seperti kejujuran, keterbukaan, dan penghormatan terhadap audiens.
Dari perspektif komunikasi, penggunaan media sosial sebagai alat propaganda menimbulkan berbagai tantangan yang membutuhkan regulasi dan pendekatan etis. Prinsip transparansi, akuntabilitas, dan literasi digital adalah elemen kunci dalam menjaga integritas komunikasi di era digital. Dengan memahami teori-teori komunikasi dan implikasinya, pemerintah dapat mengelola media sosial dengan cara yang mendukung demokrasi dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
*Nuke Azwita, Mahasiswi Magister Ilmu Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Jakarta.