MATA INDONESIA, JAKARTA – Minuman nasional merupakan sebuah minuman khas yang sangat dikaitkan dengan sebuah negara tertentu dan menjadi bagian dari identitas nasional dan citra diri mereka.
Minuman nasional terbagi dalam dua kategori, beralkohol dan non-alkohol. Minuman nasional beralkohol, walau terlarang, tapi ada juga yang merupakan minuman campuran. Sebut saja tuak dan juga sopi.
Minuman beralkohol asal Indonesia itu kini legal. Dengan pelegalan itu, maka Indonesia resmi punya minuman keras yang tak kalah unggul dari negara lain. Jika Jepang terkenal dengan Sakenya, Rusia dengan Vodkanya, maka Indonesia beken dengan Sopi. Tamu-tamu asing yang berkunjung ke Indonesia kelak bisa kita suguhkan dengan Sopi.
Sopi berasal dari bahasa Belanda, “zoopje” yang artinya alkohol cair. Sopi tidak hanya populer di NTT, tetapi juga diakrabi masyarakat Maluku dan Papua. Di Pulau Flores sendiri bahkan ada satu daerah yang beken sebagai produsen Sopi terbaik, yakni di Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada, NTT. Di daerah ini, Sopi berlabel “BM” akronim dari bakar menyala. Jika sopi dituang dan tiba-tiba api disulut, maka minuman ini mudah terbakar.
Penduduk setempat menyebut, sopi yang bisa dikatakan lulus “sertifikasi” jika ia sudah kategori BM. Sebaliknya, jika tidak bisa menyala, bakal tidak laku jual.
Di NTT minuman ini dikenal dengan dua nama. Sebagian orang mengenalnya, Sopi. Sebagian lagi, Moke. Sebenarnya ini adalah barang yang sama, minuman beralkohol yang disadap dari pohon lontar, hanya proses sulingnya yang membedakannya. Moke disuling dengan wadah periuk tanah liat dan uap hasil sulingnya dialirkan memakai batang bambu, sedangkan Sopi disuling dengan gentong yang disambungkan dengan pipa. Keduanya sama-sama tinggi kadar alkoholnya.
Kita percaya, dengan pelegalan ini, ke depannya, peredaran, produksi dan izin penjualannya bakal diatur dengan ketat. Pelegalan ini sesungguhnya memberi sinyal baik bagi pelestarian minuman asli daerah NTT, mengatur standar produksi sopi yang layak untuk dikonsumsi masyarakat, serta meningkatkan perekonomian masyarakat setempat.
Dilegalkannya sopi menunjukkan keberpihakan pemerintah daerah dalam pengembangan produk lokal. Minum berkadar 40 persen alkohol itu berkait erat budaya di masyarakat NTT seperti upacara adat, pernikahan, kematian ataupun untuk sekadar kegiatan sosialisasi. Bahkan secara historis, Sopi (tuak) punya catatan unik. Bagi masyarakat Lembata, NTT misalnya, tuak (termasuk sopi) adalah warisan nenek moyang. Minum tuak jadi bagian hidup sehari-hari.
Budaya minum sopi awalnya berkembang di kampung-kampung pelosok pegunungan. Bukan karena kebiasaan mabuk-mabukan, tetapi karena sulitnya mendapatkan sumber air. Di masa lalu, tuak (termasuk sopi) menjadi pengganti air, karena relatif mudah didapat. Tuak disadap dari pohon lontar setiap pagi dan sore. Umumnya diminum memakai mangkok dari batok kelapa. Sebelum direguk, sebagian dituang ke tanah sebagai tanda penghormatan kepada arwah leluhur.
Peneliti Center for Indonesia Policy Mercyta Jorsvinna mengatakan, melegalkan minuman beralkohol lebih rasional ketimbang melarangnya. Saat minuman menjadi legal pemerintah memberikan bentuk komitmen untuk mengatur peredaran dan konsumsi sopi. Sehingga, angka kematian akibat mengonsumsi minuman oplosan bisa menjadi tanggung jawab pemerintah.
Pelegalan Sopi ini juga menghangatkan kembali wacana meresmikan minuman keras khas di berbagai daerah di Nusantara. Harus kita akui, di daerah-daerah di Tanah Air memiliki minuman alkohol tradisional. Minuman tersebut diracik dan dikemas sederhana dan jamak dipakai sebagai jamuan di acara adat. Sekadar menyebut, ada minuman Cap Tikus dari Manado dan Minahasa, Ballo dari Makassar, Sopi dari Maluku dan NTT, Lapen dari Yogyakarta, Tuak Nifaro dari Nias, Arak dari Bali dan tuak dari Toba maupun Tapanuli.
Jika Sopi bisa dilegalkan, dengan prinsip dan tujuan serupa, tuak sebagai salah satu minuman beralkohol tradisional yang berasal dari Sumatra Utara juga berpotensi untuk dilestarikan.
Reporter: Indah Utami