Soal Fenomena Kue Klepon, Heran! Kenapa Sih Sampai Disebut Gak Islami?

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Kue klepon mendadak hype lagi. Kue tradisional satu ini mulai banyak dilupakan karena kalah saing dengan kue-kue kekinian. Namun tiba-tiba namanya kembali menyedot perhatian bahkan heboh diperbincangkan di jagat Twitter.

Penyebabnya adalah unggahan dari akun Twitter @memefess. Entah apa alasannya, pemilik akun tersebut mengunggah gambar dengan tulisan yang menyebut kue klepon tidak islami.

“Kue klepon tidak islami. Yuk, tinggalkan jajanan yang tidak Islami dengan cara membeli jajanan Islami, aneka kurma yang tersedia di toko syariah kami,” demikian tulisan yang ada di unggahan tersebut, dikutip Rabu, 22 Juli 2020.

Pernyataan ‘kue klepon tidak islami’ itu sontak menghebohkan netizen hingga ramai dibahas dan menuai polemik. Banyak netizen tak setuju dengan anggapan tersebut.

Jika ditelaah, anggapan kue klepon tidak islami ini memang agak mengherankan ya gaes. Sebab, tidak ada pengelompokan makanan islami atau tidak. Yang ada adalah makanan halal dan haram.

Kriteria halal sendiri berarti makanan tersebut tidak tercampur najis dalam pembuatan atau pengolahannya. Makanan menjadi tidak halal jika tercampur dengan beberapa hal yang diharamkan dalam Islam, seperti daging babi, daging anjing dan darah.

Nah, terkait halal dan haram, kue klepon sendiri jika dibuat bukan dengan bahan-bahan yang diharamkan seperti di atas berarti halal dikonsumsi gaes.

Lagipula, yang namanya kue klepon ini sudah populer di kalangan masyarakat Indonesia dari tahun 1950-an. Dengan kata lain, kue legendaris ini sudah aman dikonsumsi sejak dulu.

Kenapa tiba-tiba jadi dipermasalahkan islami atau tidak? Intinya, jangan salah kaprah dalam memaknai kata ‘islami’ dan lebih berhati-hati dalam menerima informasi dari sosial media ya gaes.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Judi Daring Ancam Ekonomi Keluarga: Saatnya Literasi dan Kolaborasi Jadi Senjata

Oleh: Ratna Soemirat* Fenomena judi daring (online) kini menjadi salah satu ancaman paling serius terhadap stabilitassosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Di tengah kemajuan teknologi digital yang membawakemudahan hidup, muncul sisi gelap yang perlahan menggerogoti ketahanan keluarga dan moral generasi muda. Dengan hanya bermodalkan ponsel pintar dan akses internet, siapa pun kini bisaterjerumus dalam praktik perjudian digital yang masif, sistematis, dan sulit diawasi. Pakar Ekonomi Syariah dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Satria Utama, menilai bahwa judi daring memiliki daya rusak yang jauh lebih besar dibandingkan bentukperjudian konvensional. Menurutnya, sasaran utama dari perjudian daring justru kelompokmasyarakat yang secara ekonomi tergolong rentan. Dampaknya langsung terlihat pada polakonsumsi rumah tangga yang mulai bergeser secara drastis. Banyak keluarga yang awalnyamampu mengatur pengeluaran dengan baik, kini harus kehilangan kendali keuangan karenasebagian besar pendapatan mereka dialihkan untuk memasang taruhan. Satria menjelaskan, dalam beberapa kasus, bahkan dana bantuan sosial (bansos) yang seharusnyadigunakan untuk kebutuhan pokok keluarga justru dihabiskan untuk berjudi. Hal ini, katanya, bukan lagi sekadar persoalan individu, melainkan ancaman nyata terhadap ketahanan ekonominasional. Ia menegaskan, ketika uang yang seharusnya digunakan untuk makan, biaya sekolahanak, atau keperluan kesehatan malah dipakai untuk berjudi, maka kerusakannya meluas hinggapada tingkat sosial yang lebih besar. Masalah ini juga diperparah dengan munculnya fenomena gali lubang tutup lubang melaluipinjaman online (pinjol). Banyak pelaku judi daring yang akhirnya terjebak utang karena tidakmampu menutup kerugian taruhan. Satria menilai bahwa bunga pinjol yang tinggi justrumemperparah keadaan dan menjerumuskan pelakunya ke dalam lingkaran utang yang sulitdiakhiri. Dalam banyak kasus, kondisi ini menyebabkan kehancuran rumah tangga, konflikkeluarga, hingga perceraian. Efek domino judi daring, katanya, sangat luas dan tidak hanyamerugikan pelakunya saja. Selain aspek ekonomi, Satria juga menyoroti persoalan perilaku konsumsi yang tidak rasional di kalangan masyarakat. Ia menilai bahwa budaya konsumtif yang tinggi membuat masyarakatlebih mudah tergoda dengan janji palsu “cepat kaya” yang ditawarkan oleh situs judi daring. Contohnya, jika seseorang rela mengeluarkan uang untuk rokok meski kebutuhan rumah tanggaterbengkalai, maka godaan berjudi dengan iming-iming hasil instan menjadi semakin kuat. Menurutnya, perubahan pola pikir masyarakat menjadi kunci utama untuk membentengi diri daribahaya ini. Lebih jauh, Satria menegaskan bahwa penanganan judi daring tidak cukup hanya denganpendekatan represif, seperti pemblokiran situs atau razia siber. Ia menilai langkah tersebutmemang penting, tetapi tidak akan menyelesaikan akar masalah tanpa adanya peningkatanliterasi ekonomi dan kesadaran digital masyarakat. “Permintaan terhadap judi daring itu besar, sehingga selama ada permintaan, pasokan akan terus bermunculan,” ujarnya dalam wawancara. Pemerintah, katanya, harus berani menyentuh aspek edukasi publik dengan memperkuat literasidigital, keuangan, dan moral agar masyarakat memiliki ketahanan terhadap jebakan dunia maya. Upaya memperkuat literasi digital dan kesadaran publik kini mulai mendapat perhatian dariberbagai pihak, termasuk dunia akademik. Salah satu contoh nyata datang dari UniversitasLampung (Unila) melalui inovasi bertajuk Gambling Activity Tracing Engine (GATE...
- Advertisement -

Baca berita yang ini