MATA INDONESIA, PARIS – Alkisah, di Paris Prancis hiduplah seorang laki-laki bongkok rupa yang puluhan tahun tinggal di bawah lonceng Gereja Notre-Dame, Paris. Si bungkuk – ia biasa disebut – bernama Quasimodo.
Impian dia satu, ingin bergabung dengan kehidupan nyata. Sayangnya, si bungkuk dalam cengkraman kekuasaaan majikannya, Frollo.
Hingga suatu hari, digelarlah sebuah festival di Paris. Quasimodo pun akhirnya menghadiri pesta rakyat tersebut.
Di festival itu, Quasimodo bertemu dan jatuh cinta dengan seorang wanita Gipsy cantik bernama Esmeralda. Dalam festival tersebut, Quasimodo mendapatkan gelar “Raja Orang-orang Bodoh”.
Sayangnya, Frolo majikannya pelanggaran yang dilakukan Quasimodo. Si bungkuk ini pun ditangkap, dicambuk, dihukum dan dibakar hidup-hidup. Beruntung, Quasimodo ditolong Phoebus, prajurit Prancis berpangkat kapten yang juga mencintai Esmeralda.
Kisah si bungkuk dari Notre-Dame ini menjadi karya terbesar Victor Hugo. Ia berhasil mengaduk-aduk emosi pembaca dengan penderitaan yang diterima Quasimodo itu.
Notre-Dame de Paris tak hanya sukses merebut para penikmat sastra. Novel ini juga membuat Katedral Notre Dame dan bangunan Renasains lain menjadi populer di kalangan masyarakat Eropa sehingga mendorong pemugaran terhadap bangunan-bangunan tersebut. Secara garis besar Notre-Dame de Paris menyampaikan kritisisme terhadap masyarakat yang mengucilkan Quasimodo yang cacat pada zaman Pertengahan
Tak hanya Notre-Dame, sastrawan besar Prancis ini juga membuat Les Miserables, salah satu karya terbesarnya yang berlatar kekacauan politik di Prancis pasca kekuasaan Napoleon. Sebagai sastrawan yang juga politikus, Les Miserables menggambarkan drama, intrik dan rekaman revolusi Prancis dengan apik.
Victor Hugo memang apatis dalam politik. Karya-karya Hugo sarat dengan masalah ketidakadilan sosial. Ia juga seorang atheis.
Semasa hidupnya Hugo seorang politikus progresif yang berpengaruh sebagai anggota parlemen.
Reporter : Rama Kresna Pryawan