Program MBG Tingkatkan Nilai Ekonomi Produk Pangan Lokal Demi Ketahanan Nasional

Baca Juga

Oleh: Dinda Anya)*

Program Memperkuat Budaya Gizi atau MBG telah dijalankan dengan tujuan utama mendorong peningkatan nilai ekonomi produk pangan lokal. Melalui pendekatan yang strategis dan terstruktur, program ini menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk memperkuat ketahanan pangan nasional sekaligus membuka peluang baru bagi pelaku usaha mikro kecil dan menengah di sektor pertanian dan pangan.

Dalam pelaksanaannya, produk pangan lokal seperti umbi-umbian, serealia lokal, kacang-kacangan, hingga rempah-rempah telah didorong penggunaannya sebagai bahan utama dalam berbagai inovasi pangan. Proses ini tidak hanya bertumpu pada peningkatan konsumsi dalam negeri, tetapi juga diarahkan untuk memperluas akses pasar baik secara nasional maupun internasional. Dengan begitu, produk lokal yang dulunya kurang dikenal kini mulai dimanfaatkan secara lebih luas dalam berbagai sektor industri makanan.

Staf Ahli Bidang Pembangunan Daerah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Haryo Limanseto, mengatakan inti dari tantangan sekaligus solusi dalam program pemenuhan gizi dan pemerataan akses pangan di Indonesia. Ditegaskan olehnya bahwa kolaborasi lintas sektor menjadi kunci utama percepatan pencapaian target tersebut. Pandangan ini sangat relevan dan perlu mendapat perhatian lebih luas dari seluruh pemangku kepentingan.

Persoalan gizi, khususnya yang menyasar anak-anak dan kelompok rentan, memang tidak dapat ditangani secara sektoral dan parsial. Tingginya angka stunting, kurangnya asupan gizi seimbang, serta belum meratanya distribusi pangan berkualitas menjadi masalah multidimensi. Oleh sebab itu, upaya penanganannya pun tidak bisa hanya mengandalkan satu lembaga atau satu sektor saja. Dibutuhkan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, sektor swasta, akademisi, komunitas, hingga media massa.

Berbagai pelatihan dan pendampingan telah difasilitasi agar pelaku usaha pangan lokal mampu menghasilkan produk yang memiliki nilai tambah. Proses pengemasan, pengolahan modern, hingga manajemen usaha telah diberikan dukungan melalui kerja sama lintas sektor. Produk yang dulunya hanya dipasarkan secara terbatas di lingkungan lokal kini telah berhasil menembus pasar ritel modern, baik secara offline maupun daring. Transformasi ini memperlihatkan bagaimana sinergi antara kebijakan pemerintah dan pelaku usaha dapat membawa dampak positif yang signifikan terhadap ekonomi masyarakat.

Kampanye edukasi konsumsi pangan lokal juga telah dijalankan di berbagai daerah. Melalui pendekatan berbasis komunitas dan pendidikan, pemahaman masyarakat terhadap pentingnya pangan lokal sebagai sumber gizi dan ekonomi telah meningkat. Langkah ini dinilai efektif dalam mengubah pola konsumsi masyarakat yang sebelumnya lebih bergantung pada produk impor.

Ketua Majelis Pertimbangan Matahari Pagi Indonesia, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan dukungannya terhadap program pemenuhan gizi melalui pendekatan berbasis sekolah, memperlihatkan semakin kuatnya sinergi antara masyarakat sipil dan arah kebijakan nasional. Langkah ini tidak hanya mendukung program Memperkuat Budaya Gizi (MBG) yang dicanangkan pemerintah, tetapi juga mengamplifikasi komitmen terhadap peningkatan kualitas gizi anak-anak di sekolah, khususnya yang belum tersentuh langsung oleh program pemerintah.

Ketika sebuah organisasi masyarakat seperti Matahari Pagi Indonesia mengambil bagian dalam penguatan program nasional, hal ini menunjukkan bahwa isu pemenuhan gizi sudah mulai dianggap sebagai tanggung jawab bersama, bukan semata tugas pemerintah. Apalagi pendekatan yang digunakan bersifat terukur, dengan pengendalian kualitas di beberapa titik selama periode tertentu. Ini mencerminkan keseriusan dan niat baik untuk menjadi mitra aktif dalam pembangunan gizi yang berkelanjutan.

Dukungan terhadap sektor pertanian lokal juga telah diperkuat melalui kemitraan dengan koperasi, kelompok tani, dan UMKM. Hasil panen dari petani lokal telah dijadikan bahan baku utama dalam produk yang dipromosikan oleh Program MBG. Pendekatan ini sekaligus memberikan jaminan pasar bagi para petani, sehingga keberlanjutan produksi dapat dijaga dengan lebih stabil.

Berbagai kebijakan insentif seperti penyederhanaan izin usaha, bantuan teknis, serta akses pembiayaan usaha mikro telah dilibatkan dalam program ini. Semua pihak yang terlibat diarahkan untuk memperkuat rantai pasok pangan lokal agar dapat bersaing secara sehat dan berkelanjutan. Fokus pada pangan lokal dipandang bukan hanya sebagai solusi ekonomi, tetapi juga sebagai bentuk pelestarian budaya bangsa dan identitas kuliner nasional.

Pernyataan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo, mengenai penguatan konsumsi pangan Beragam, Bergizi Seimbang, dan Aman (B2SA) sebagai dasar pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) menunjukkan bahwa pendekatan program gizi nasional kini diarahkan lebih holistik dan berkelanjutan. Gagasan ini sangat tepat dan patut didukung penuh karena menjawab kebutuhan gizi anak secara menyeluruh, tidak sekadar memberi makan, tetapi juga mendidik soal pola konsumsi yang benar.

Dalam konteks pembangunan sumber daya manusia, penerapan prinsip B2SA merupakan langkah krusial. Pasalnya, banyak intervensi gizi yang gagal berdampak jangka panjang karena hanya berorientasi pada kuantitas, bukan kualitas dan keberagaman. Melalui pendekatan B2SA, anak-anak tidak hanya menerima makanan, tetapi juga dikenalkan pada konsep gizi yang benar, seperti pentingnya variasi bahan pangan, asupan protein, karbohidrat kompleks, vitamin, dan mineral, serta keamanan makanan.

Pemerintah terus menunjukkan komitmennya dalam mendorong peningkatan nilai tambah produk pangan lokal. Program MBG menjadi salah satu bukti nyata bahwa strategi yang berpihak pada kekayaan alam dan kearifan lokal mampu memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Keberhasilan program ini diharapkan menjadi langkah awal dalam memperluas peluang ekspor produk pangan Indonesia di pasar global dan menjadikan pangan lokal sebagai tuan rumah di negeri sendiri.

)* Analis Kebijakan Pangan dan Gizi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Waspadai Provokasi Indonesia Cemas Soal Literasi Siswa

Oleh : Herman Firmansyah )* Dalam beberapa tahun terakhir, isu mengenai rendahnya literasi siswa Indonesia sering kali diangkat dalam berbagai media dengan narasi yang cukupmengkhawatirkan. Judul-judul seperti “Indonesia Cemas”, “Krisis Literasi”, atau“Darurat Membaca” kerap menghiasi pemberitaan dan menyebar di media sosial. Meskipun data dari berbagai survei memang menunjukkan bahwa kemampuanliterasi siswa Indonesia masih perlu ditingkatkan, penting bagi kita untuk tidakterjebak dalam narasi provokatif yang justru melemahkan semangat perubahan. Sebaliknya, kita harus membangun optimisme dan kesadaran kolektif untukmemperkuat budaya literasi secara inklusif dan berkelanjutan. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Irwan Akib mengatakan keberhasilanpendidikan hari ini akan sangat menentukan kesiapan generasi muda menghadapimasa depan bangsa. Guru dan murid harus memiliki kesiapan iman yang kuat, yang berakar pada ajaran tauhid. Ajaran tauhid bukan sekadar pengucapan dua kalimatsyahadat, tetapi harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, termasukdalam semangat menuntut ilmu untuk menghapus kebodohan. Pihaknya jugamengingatkan pentingnya etika dalam penggunaan media sosial, menjaga akhlak, serta menjadikan sekolah sebagai pusat pembentukan generasi inovatif, kreatif, danberakhlak mulia. Perlu disadari bahwa persoalan literasi bukan hanya persoalan Indonesia semata. Banyak negara berkembang menghadapi tantangan serupa dalam menyetarakanakses pendidikan berkualitas, meningkatkan kompetensi guru, dan membangunekosistem belajar yang mendukung keterampilan abad ke-21. Oleh karena itu, membingkai kondisi literasi Indonesia secara berlebihan dengan narasi “krisispermanen” justru bisa mematikan inisiatif lokal yang sedang bertumbuh. Di berbagaipelosok negeri, banyak sekolah, guru, komunitas, dan orang tua yang berjuangkeras untuk menumbuhkan minat baca anak-anak mereka dengan cara-cara yang kreatif dan kontekstual. Sayangnya, upaya mereka kerap tenggelam di tengahriuhnya wacana pesimistis. Narasi “Indonesia Cemas” yang terkesan membesar-besarkan kekurangan justrubisa menjadi bumerang. Ia bisa melemahkan rasa percaya diri siswa dan guru, mengerdilkan potensi daerah, serta menciptakan pandangan bahwa pendidikanIndonesia sudah gagal secara sistemik. Padahal, kenyataannya jauh lebih kompleksdan penuh harapan. Indeks literasi bukanlah satu-satunya ukuran keberhasilanpendidikan. Kemampuan memahami teks memang penting, namun begitu pula dengan karakter, kreativitas, kemampuan berpikir kritis, dan nilai-nilai kebhinekaanyang juga menjadi tujuan pendidikan nasional. Maka, pendekatan yang lebih bijakadalah dengan menjadikan hasil survei sebagai pemicu refleksi dan perbaikan, bukan alat untuk menyebar kecemasan berlebihan. Penting juga untuk melihat bahwa literasi bukan semata-mata kemampuanmembaca buku, tetapi menyangkut kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk untuk memecahkan masalahsehari-hari. Dalam konteks ini, transformasi digital yang sedang berjalan di Indonesia membuka peluang besar untuk memperluas akses dan bentuk literasi. Siswa kini bisa belajar dari video edukatif, podcast, e-book, forum diskusi, danberbagai platform daring lainnya. Literasi abad ke-21 membutuhkan pendekatanyang adaptif dan kontekstual, bukan sekadar penguasaan teks tertulis. Sementara itu, Gubernur Sumatera Selatan, H. Herman Deru mengatakan pihaknyaberkomitmen dalam menyambut tantangan bonus demografi 2045 melalui program Pendidikan Karakter Laskar Pandu Satria. Program ini menyasar siswa SMA/SMK dari berbagai kabupaten/kota di Sumsel. Program ini telah mendapat dukungan luasdari orang tua siswa. Mereka menilai kegiatan ini sebagai bentuk perhatian nyatadari pemerintah terhadap masa depan anak-anak. Di lain, balik kekhawatiran yang kerap dimunculkan, sebenarnya terdapat banyakinisiatif positif yang perlu mendapatkan ruang lebih besar dalam pemberitaan. Gerakan literasi sekolah, pojok baca, perpustakaan digital, komunitas baca mandiri, serta dukungan dari dunia usaha dan organisasi non-profit telah banyak memberikandampak nyata dalam meningkatkan budaya literasi di tingkat lokal. Pemerintah pun tak tinggal diam. Melalui program Merdeka Belajar dan Kurikulum Merdeka, upayapeningkatan kualitas pendidikan semakin diarahkan pada penguatan kompetensidasar, termasuk literasi. Kurikulum ini memberikan fleksibilitas bagi guru untukmenyesuaikan pembelajaran dengan konteks lokal dan kebutuhan siswa, yang padagilirannya berkontribusi pada meningkatnya minat dan pemahaman siswa terhadappelajaran. Tentu saja, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Namun, kitaharus tetap percaya bahwa perubahan sedang dan terus berlangsung. Menghadapitantangan literasi bukan dengan ketakutan dan kegaduhan, tetapi dengan kolaborasidan optimisme. Kita butuh lebih banyak cerita inspiratif tentang anak-anak di pedalaman yang belajar dengan semangat tinggi, guru-guru...
- Advertisement -

Baca berita yang ini