Oleh : Gita Oktaviani )*
Pemerintah Indonesia terus mengoptimalkan kebijakan fiskal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memperkuat pembangunan ekonomi yang merata. Salah satu langkah strategis yang akan diterapkan adalah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.
Kebijakan tersebut tidak hanya bertujuan mendongkrak pendapatan negara, tetapi juga memastikan hasilnya dapat dialokasikan untuk berbagai program sosial dan subsidi demi mendorong kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menegaskan bahwa hasil penerimaan PPN sebesar 12 persen akan digunakan untuk mendanai sejumlah program bantuan sosial dan subsidi.
Pada 2023, pemerintah telah mengalokasikan Rp269,59 triliun untuk program tersebut. Alokasi itu mencakup berbagai inisiatif, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Program Indonesia Pintar (PIP), serta subsidi untuk listrik, LPG 3 kg, pupuk, dan BBM.
Dukungan tersebut berperan besar dalam meningkatkan daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah, sekaligus mendorong pemerataan pembangunan di berbagai wilayah Indonesia.
Selain itu, kebijakan fiskal tersebut dirancang dengan memperhatikan aspek keadilan. Pemerintah telah menaikkan batas Penghasilan Kena Pajak (PKP) individu menjadi Rp60 juta dari sebelumnya Rp50 juta.
Langkah tersebut bertujuan memberikan ruang bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk tetap memiliki daya beli yang kuat. Di sisi lain, pemerintah membebaskan pajak penghasilan (PPh) bagi UMKMdengan omzet hingga Rp500 juta. Langkah itu diyakini mampu mendorong pertumbuhan sektor usaha kecil yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional.
Tidak semua barang dan jasa terkena dampak kebijakan PPN 12 persen. Pemerintah membebaskan beberapa kebutuhan pokok seperti beras, jagung, sagu, daging, telur, serta jasa kesehatan, pendidikan, transportasi umum, dan asuransi dari pengenaan PPN. Upaya ini memastikan kebutuhan dasar masyarakat tetap terjangkau, sehingga kebijakan PPN tidak memberikan tekanan berlebih kepada masyarakat luas.
Terwujudnya langkah strategis tersebut, yakni kebijakan PPN menjadi 12 persen sejatinya telah selaras dengan visi pemerintah dalam upaya mempercepat pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia.
Bukan tidak mungkin, dengan adanya pendapatan yang meningkat dari penerimaan PPN, maka ke depannya pemerintah menjadi memiliki ruang lebih luas untuk mendanai berbagai macam program strategis seperti pembangunan infrastruktur dasar yang sangat bermanfaat bagi rakyat, yakni akses jalan, fasilitas pendidikan hingga layanan kesehatan ke daerah terpencil.
Tentunya kebijakan tersebut menjadi salah satu elemen penting dalam upaya untuk mengurangi adanya kesenjangan antarwilayah dan mendorong terwujudnya integrasi ekonomi nasional yang semakin inklusif.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa kenaikan PPN 12 persen dirancang tanpa mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah telah mempersiapkan strategi untuk meredam dampak dari kebijakan tersebut, terutama dengan melindungi sektor-sektor strategis yang melibatkan kebutuhan pokok masyarakat.
Airlangga menegaskan bahwa kebijakan itu telah diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan harus dijalankan untuk menjaga keberlanjutan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Deni Surjantoro, menekankan bahwa kebijakan PPN 12 persen telah melalui kajian mendalam dan melibatkan berbagai pihak, termasuk para akademisi dan praktisi.
Aspek ekonomi, sosial, serta fiskal dipertimbangkan secara matang untuk memastikan kebijakan tersebut dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat. Dengan pendekatan itu, pemerintah berharap peningkatan tarif PPN dapat mengoptimalkan penerimaan negara tanpa memberatkan rakyat kecil.
Terealisasinya peningkatan PPN 12 persen juga menjadi salah satu langkah strategis untuk terus menjaga stabilitas fiskal di tengah terjadinya dinamika global seperti sekarang ini. Kondisi geopolitik dunia kini memang sangat berpengaruh pada berbagai aspek perekonomian, sehingga menjadikan pemerintah memerlukan adanya tambahan penerimaan untuk terus menjaga daya tahan APBN.
Adanya penerimaan pendapatan negara yang lebih tinggi dari PPN tersebut, akan memungkinkan pemerintah untuk semakin meningkatkan daya dukung fiskal untuk menghadapi adanya tantangan global, seperti ketidakpastian ekonomi hingga terjadinya fluktuasi harga komoditas.
Selain itu, kebijakan tersebut diharapkan memberikan dampak multiplier pada perekonomian. Dengan tersedianya dana yang lebih besar untuk subsidi dan bantuan sosial, masyarakat ekonomi menengah ke bawah dapat terus menjaga konsumsi. Peningkatan konsumsi tersebut pada akhirnya akan memacu permintaan dalam negeri dan mendukung keberlanjutan sektor usaha, khususnya UMKM.
Pemerintah juga memastikan transparansi dalam pengelolaan dana hasil penerimaan PPN. Dengan adanya sistem digitalisasi yang terintegrasi, pemanfaatan anggaran dapat dimonitor secara ketat untuk memastikan efektivitas dalam pelaksanaan program-program sosial dan pembangunan. Pendekatan ini sekaligus menjadi wujud akuntabilitas pemerintah dalam mengelola dana publik secara optimal.
Langkah menaikkan PPN menjadi 12 persen mencerminkan komitmen pemerintah untuk menciptakan pemerataan ekonomi yang berkelanjutan. Dengan alokasi yang tepat sasaran, kebijakan ini diharapkan menjadi fondasi yang kuat bagi terciptanya kesejahteraan yang lebih luas bagi masyarakat Indonesia.
Kesuksesan implementasi kebijakan tersebut membutuhkan sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat untuk bersama-sama mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan.
)* Kontributor Jendela Baca Institute