Mata Indonesia, Jakarta – Pro-kontra sesungguhnya sebuah keniscayaan. Tapi jika kalimat ini ditelan mentah-mentah, maka yang nicaya akan terbuka malah ruang kontra produktif. Demikian kesimpulan Minews dari percakapan dengan berbagai kalangan yang ditemui.
Irwan Setiawan, 52, pengusaha garment di bilangan Bandung, jawa Barat, kepada kontributor Minews, tegas–tegas mengatakan bahwa mengandalkan pro-kota menjadi basic logika masyarakat, itu sama dengan membiarkan masyarakat kembali ke jaman Yunani.
“Tidak jelek, memang, tapi itu jamannya Plato dan Aristoteles, sekarang beda zaman,”seloroh lelaki penggemar olahraga bela diri ini.
Irwan tidak menyalahkan cara berpikir dialektika, atau dalam bahasa awam dimaksud dengan cara berpikir pro kontra, itu modal berpikir kritis. Tak ada salahnya.
“Tapi mesti disadari, bahwa berpikir kritis atau berpikir pro kontra yang baik, adalah pola berpikir yang dibekali dengan basic pengetahuan yang cukup. Bukan sekedar pro atau kontra. Kalau cuma itu modalnya, Itu namanya kepeleset berpikir,”ungkapnya panjang lebar.
Irwan, sebagaimana juga Rachmad Hidayat, karyawan swasta, 44 tahun yang pernah mengenyam pendidikan di Akademi Akhbar El Yom, Mesir, percaya bahwa pro atau kontra, masing masing mengandung konsekwensinya sendiri.
“Maka harus lebih bijak dalam memahami ritual pro kontra,”Ungkap Rachmad.
Koment kedua orang ini, diberikan berkait dengan masih berkutatnya pikiran pro kontra berkait pembangunan Ibu Kota Negara di Kalimantan Timur.
Keduanya secara meyakinkan berpendapat bahwa pemindahan itu merupakan terobosan berani dan tepat.
“Untung pak Jokowi itu orangnya penyabar,” kata Siti Mufidah, mahasiswa salah satu perguruan Tinggi di Pontianak, melalui contributor Minews di sana.
Ungkapan ini terkait dengan telatennya presiden Jokowi di berbagai kesempatan menjelaskan tentang alasan kepindahan ibu kota negara. Yang paling anyar, disampaikan Presiden tatkala memberikan sambuatnnya dalam pembukaan Muktaram pemuda Muhamadiyah ke 18, kemarin.
Di sana, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) didasari semangat menciptakan pemerataan di Indonesia sehingga tidak jawa sentris melainkan Indonesia sentris.
”ini, alasan penting yang harus dipahami,” ungkap Rachmad yang kelahiran Tenggarong, Kalimantan Timur.
Ia sangat sependapat sekali dengan presiden Jokowi yang dalam sambutannya di mukmatar kemarin, mengungkapkan bahwa pemindahan ibu kota ke IKN dimaksudkan untuk mendukung pemerataan di Indonesia dari sisi ekonomi, penduduk, maupun pembangunan yang disampaikan Jokowi ketika membuka Muktamar XVIII Pemuda Muhammadiyah.
Jokowi berkeyakinan, proses pembangunan IKN baru, diupayakan rampung dalam waktu 15-20 tahun ke depan.
Beliau mengungkapkan juga bahwa pemindahan ibu kota negara bukan semata pemindahan fisik gedung pemerintahan, tapi juga termasuk di dalamnya pemindahan budaya kerja dan pola pikir yang baru dengan sistem dan sumber daya manusia yang dipersiapkan secara baik.
Di forum muktamar itu, Jokowi menjelaskan, Pulau Jawa sudah memikul 59 persen produk domestik bruto nasional dan 56 persen penduduk Indonesia. Hal itu yang membuatnya berpikir perlunya pemerataan pembangunan sehingga tidak hanya terpusat di Pulau Jawa.
Dengan menyimak latar belakang pemikiran yang disampaikan presiden, Racmad dan Irwan, mengajak kita untuk berpikir dengan melihat kenyataan, bagaimana jomplangnya dinamika pembangunan antara jawa dengan luar jawa selama ini.
Kenapa itu tidak dipahami dengan serius, sehingga ittikad presiden untuk memindahkan ibu kota negara bisa berproses lebih kondusif.
Kemarin, presiden juga mengungkapkan bahwa Pulau Jawa sudah terlalu padat. “Jangan jawasentris, kita sudah harus indonesiasentris,” kata Jokowi.