Oleh : Dirandra Falguni )*
Pilkada Serentak 2024 telah mencatat sejarah baru dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Sebanyak 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota, telah melaksanakan pemungutan suara pada 27 November 2024. Sebagai salah satu Pemilu lokal terbesar di dunia, Pilkada ini mencerminkan komitmen bangsa untuk membangun demokrasi yang lebih matang.
Namun, seperti halnya pesta demokrasi lain, ketidakpuasan terhadap hasil Pilkada adalah hal yang wajar terjadi. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo mengungkapkan, hingga Senin, 9 Desember 2024, sebanyak 162 gugatan sengketa Pilkada telah didaftarkan ke MK. Gugatan ini mencakup Pilkada tingkat kabupaten dan kota, sementara untuk tingkat provinsi belum ada kasus yang masuk.
Suhartoyo menegaskan, tata cara beracara telah diatur dalam Peraturan MK Nomor 3 Tahun 2024. MK memproses gugatan melalui sidang panel yang terdiri dari tiga hakim konstitusi, memastikan tidak ada konflik kepentingan. Dalam menangani perkara, MK memiliki waktu 45 hari kerja sejak perkara dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (BRPK).
Hal yang sama juga disampaikan oleh Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (Hasrat), Sugiyanto bahwa meski secara umum berlangsung damai, seperti diakui, sengketa hasil Pilkada tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari proses ini.
Anggota Komisi II DPR RI, Indrajaya, menekankan pentingnya MK bersikap imparsial. Gugatan yang diajukan harus diterima dengan baik tanpa pilih kasih. Ia juga meminta hakim MK menjaga integritas dan tidak “bermain mata” dengan pihak-pihak tertentu. Transparansi dalam menangani perselisihan Pilkada adalah kunci untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan ini.
Indrajaya juga mengajak para pendukung pasangan calon untuk menahan diri dan menaati aturan. Ketidakpuasan hasil Pilkada sebaiknya diselesaikan melalui jalur hukum tanpa provokasi yang dapat memicu konflik horizontal.
Direktur Eksekutif Madani Indonesia Democracy Studies (MINDS), Dr. Fendi Hidayat, memandang Pilkada Serentak 2024 sebagai momen penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Penanganan sengketa hasil Pilkada bukan hanya mekanisme hukum, tetapi juga sarana pendidikan politik dan literasi hukum bagi masyarakat.
Fendi mengingatkan bahwa mekanisme hukum, seperti pengajuan gugatan ke MK, bertujuan mencegah konflik horizontal dan memberikan jalur penyelesaian yang adil. Gugatan yang didasari fakta kuat dan bukti valid dapat memperkuat legitimasi hasil Pilkada. Sebaliknya, gugatan tanpa dasar berpotensi menciptakan efek domino yang merugikan stabilitas nasional.
Pilkada Jakarta menjadi barometer politik nasional. Potensi konflik akibat ketidakpuasan terhadap hasil Pilkada di ibu kota dapat memengaruhi stabilitas politik secara keseluruhan. Presiden Prabowo Subianto dihimbau untuk menyerukan semua pihak menerima hasil dengan jiwa besar.
Stabilitas politik sangat penting di masa awal pemerintahan baru, terutama untuk mendukung implementasi visi besar pembangunan nasional. Gugatan tanpa alasan kuat tidak hanya menghambat pelantikan kepala daerah baru, tetapi juga menurunkan efisiensi sistem demokrasi.
Terdapat tiga langkah penting yang perlu diambil untuk memastikan stabilitas politik dan keberlanjutan pembangunan yakni apresiasi kinerja penyelenggara Pemilu.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah berhasil menjaga asas Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil meski menghadapi berbagai tantangan teknis. Pengakuan atas kerja keras mereka penting untuk menjaga kepercayaan publik.
Kedua, sikap legowo dari semua pihak. Pihak yang kalah diharapkan menerima hasil dengan lapang dada, sementara pihak yang menang sebaiknya tidak menunjukkan sikap arogan. Sikap inklusif dan kolaboratif diperlukan untuk menciptakan suasana politik yang kondusif.
Ketiga, penyelesaian sengketa secara professional. Gugatan ke MK harus didasarkan pada pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) atau bukti kuat lainnya. Gugatan sembarangan hanya akan membebani administrasi tanpa memberikan manfaat berarti.
Penanganan sengketa Pilkada yang transparan dan berbasis fakta dapat memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi. Survei menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap MK meningkat dari 60-an persen menjadi 73 persen berkat profesionalisme dalam menangani sengketa. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam menghadapi narasi negatif di media sosial.
Edukasi politik dan kolaborasi antara media massa, akademisi, serta penyelenggara Pilkada menjadi solusi untuk meningkatkan literasi politik masyarakat. Dengan cara ini, Pilkada dapat menjadi ajang pembelajaran demokrasi yang lebih matang.
Ketidakpuasan terhadap hasil Pilkada harus diselesaikan melalui mekanisme hukum yang tersedia. Penegakan hukum yang adil, transparan, dan berbasis fakta adalah kunci untuk menjaga stabilitas politik dan memperkuat demokrasi Indonesia. Semua pihak, baik penyelenggara, peserta, maupun masyarakat, memiliki tanggung jawab menjaga integritas proses Pilkada demi masa depan demokrasi yang lebih baik.
Oleh karena itu, Pilkada serentak 2024 adalah tonggak penting dalam demokrasi Indonesia. Stabilitas politik nasional tidak boleh dikorbankan demi kepentingan sesaat. Gugatan ke MK harus menjadi pilihan terakhir dengan dasar argumen kuat dan bukti valid. Presiden Prabowo memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas ini dengan menyerukan semua pihak untuk menjunjung tinggi kepentingan bersama demi kelancaran pemerintahan pusat dan daerah.
)* Kontributor Beritakapuas.com