Hindari Anarkisme, Junjung Tinggi Sistem Judicial Review ke MK Soal UU TNI

Baca Juga

Oleh: Citra Indriani Putri

Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) telah disahkan oleh DPR RI dalam Rapat Paripurna pada 20 Maret 2025. Keputusan ini menuai beragam reaksi, termasuk protes dari sebagian elemen masyarakat yang merasa khawatir terhadap perubahan regulasi tersebut. 

Namun, dalam negara hukum, setiap bentuk ketidakpuasan terhadap undang-undang harus disalurkan melalui mekanisme konstitusional, bukan tindakan anarkisme yang dapat merusak tatanan demokrasi. Judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan jalur terbaik yang menjunjung tinggi prinsip negara hukum dan demokrasi.

Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, MQ Iswara, menyoroti penyebab utama munculnya protes terhadap revisi UU TNI. Menurutnya, kurangnya informasi yang utuh menjadi faktor utama yang memicu keresahan publik. 

Iswara menjelaskan bahwa revisi ini justru memperjelas peran dan fungsi TNI, tanpa ada muatan terselubung yang mengarah pada kembalinya dwifungsi ABRI seperti yang dikhawatirkan sebagian masyarakat.

Penambahan jumlah instansi sipil yang dapat diisi oleh personel TNI dari 10 menjadi 14 tidak mengindikasikan campur tangan militer di ranah sipil secara luas. Justru, aturan ini memberikan batasan yang lebih jelas. 

Personel TNI yang menduduki jabatan di luar ketentuan yang ditetapkan dalam revisi ini diwajibkan untuk mengundurkan diri. Penegasan batasan tersebut memastikan bahwa TNI tetap berfokus pada tugas utama mereka dalam menjaga pertahanan negara.

Iswara juga menanggapi aksi demonstrasi yang dilakukan masyarakat sebagai bentuk aspirasi terhadap pengesahan UU TNI. Kebebasan berpendapat dijamin oleh konstitusi, tetapi harus disampaikan dalam koridor hukum yang berlaku. 

Demonstrasi yang dilakukan dengan tertib dan sesuai aturan harus dihormati, sementara tindakan anarkisme justru dapat merugikan perjuangan itu sendiri. Dialog yang konstruktif antara masyarakat dan pemerintah menjadi solusi terbaik dalam menyelesaikan perbedaan pandangan.

Di sisi lain, Anggota Komisi III DPR, Hinca Panjaitan, menegaskan bahwa mekanisme judicial review ke MK merupakan jalur konstitusional yang bisa ditempuh bagi masyarakat yang merasa keberatan terhadap revisi UU TNI. Proses hukum di MK memungkinkan pengujian undang-undang secara objektif berdasarkan konstitusi, sehingga dapat memberikan keputusan yang sah dan mengikat bagi seluruh pihak.

Hinca mengimbau masyarakat untuk membaca dan memahami draf terbaru UU TNI sebelum menyampaikan keberatan. Kritik yang didasarkan pada pemahaman yang utuh akan lebih konstruktif dan berpeluang mendapatkan solusi yang adil. 

Demonstrasi sebagai bentuk ekspresi pendapat diperbolehkan, tetapi harus tetap dalam batasan hukum yang berlaku. Tidak seharusnya ada tindakan yang merusak fasilitas publik atau mencederai proses demokrasi yang telah berjalan.

Pernyataan senada juga disampaikan oleh Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas. Ia menegaskan bahwa masyarakat memiliki hak penuh untuk mengajukan judicial review jika merasa keberatan terhadap revisi UU TNI. 

MK menjadi wadah yang sah untuk menguji konstitusionalitas suatu undang-undang. Setiap keputusan yang dihasilkan dari judicial review bersifat final dan mengikat, sehingga tidak ada alasan untuk menyikapinya dengan tindakan di luar hukum.

Supratman mengingatkan bahwa setiap regulasi yang disahkan harus dijalankan terlebih dahulu sebelum dinilai efektivitasnya. Jika kemudian ditemukan aspek yang merugikan atau bertentangan dengan prinsip demokrasi, judicial review menjadi langkah yang paling tepat. Dalam konteks ini, tidak ada ruang bagi tindakan anarkisme, karena negara telah menyediakan jalur yang sah bagi masyarakat untuk menyampaikan keberatan mereka.

Selain itu, ia menepis anggapan bahwa revisi UU TNI disusun tanpa transparansi. Pembahasan regulasi ini telah dilakukan dalam jangka waktu yang cukup panjang dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. 

Kesempatan untuk menyampaikan masukan telah dibuka sejak awal, dan kini, setelah disahkan, mekanisme judicial review menjadi opsi yang bisa diambil bagi pihak yang masih keberatan.

Sebagai negara demokrasi yang berlandaskan hukum, Indonesia memiliki prosedur yang jelas dalam menangani setiap bentuk ketidakpuasan terhadap regulasi yang telah disahkan. Proses judicial review merupakan mekanisme yang sah, adil, dan konstitusional dalam menilai kembali kebijakan hukum yang dipersoalkan. Oleh karena itu, setiap elemen masyarakat seharusnya menghormati sistem yang telah dibangun dalam ketatanegaraan.

Protes terhadap revisi UU TNI tentu merupakan hak yang dilindungi undang-undang, tetapi harus disalurkan melalui jalur yang tepat. Tindakan anarkisme tidak hanya merugikan kepentingan masyarakat sendiri, tetapi juga mencederai prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat secara bertanggung jawab. Judicial review ke MK merupakan solusi yang paling rasional dan bermartabat dalam menyelesaikan perbedaan pandangan terkait revisi UU TNI.

Keterlibatan masyarakat dalam proses hukum yang sah mencerminkan kedewasaan demokrasi. Oleh sebab itu, menjaga ketertiban dan menghormati prosedur hukum yang berlaku menjadi tanggung jawab bersama. 

Menolak revisi UU TNI sah-sah saja, tetapi harus ditempuh melalui jalur yang telah disediakan dalam sistem ketatanegaraan. Dengan demikian, setiap perbedaan dapat diselesaikan tanpa merusak harmoni sosial dan stabilitas nasional. (*)

*) Peneliti Kebijakan Publik dan Politik – Pusat Studi Politik Rakyat (PSPR)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Stok BBM Tetap Terjaga Pada Masa Arus Balik 2025

Oleh : Ruli Aulia Wijaya )* Puncak arus balik 2025 diprediksi akan menjadi momen penting bagi jutaan pemudik yang akan...
- Advertisement -

Baca berita yang ini