Hari Kemerdekaan yang Sunyi

Baca Juga

MATA INDONESIA, Ada banyak hal yang selalu saya nantikan setiap tahunnya pada 17 Agustus. Antusias orang-orang mengikuti dan menonton lomba makan kerupuk, balap karung, panjat pinang, memasukkan pensil ke dalam botol, dan lomba-lomba lainnya yang semakin uniknya setiap tahunnya dari lomba lari menggunakan daster sampai lomba menari dengan dua orang menjepit jeruk di kepala.

Setiap tahunnya pada 17 Agustus, saya selalu kembali ke sekolah lama saya untuk mengikuti upacara bendera. Ini sekalian untuk reuni dengan guru dan teman lama. Dan, setiap kali upacara pada hari kemerdekaan Indonesia sejak saya masih di sekolah dasar, ada satu kesamaan isi pidato yang disampaikan oleh pembina atau inspektur upacara.

Setiap tahunnya inspektur upacara mengatakan “apakah kita sudah benar-benar merdeka?”. Biasanya akan dilanjutkan dengan kalimat bahwa kita belum merdeka dari kemiskinan, korupsi, dan lain sebagainya. Dan, pertanyaan ini juga terngiang di kepala saya di 17 Agustus tahun ini. Apakah kita benar-benar sudah merdeka?

Mungkin jawaban untuk pertanyaan ini akan dijawab berbeda di tahun 2020. Yah, mungkin bagi sebagian orang tahun ini adalah tahun yang sangat buruk. Tahun ini kita menghadapi penjajah baru bernama virus Covid-19. Penjajah ini menyebar dengan cepat dan merenggut banyak korban jiwa bukan hanya di Indonesia saja, tapi di seluruh dunia.

Perayaan yang berbeda dari biasanya

Hal ini membuat kita harus tetap berada di rumah dan tidak dapat berpergian secara bebas. Ada sekali saya mengobrol dengan teman saya, dia dengan nada bercanda mengatakan kalau kehidupan kita saat ini sudah seperti tahanan kota, setiap harinya di rumah saja, kerja juga dari rumah. Bahkan, perayaan 17 Agustus di Istana Merdeka tahun ini sangatlah berbeda. Untuk pertama kalinya, upacara 17 Agustus dihadiri oleh tamu-tamu secara online. Para menteri hadir mengikuti upacara menggunakan video call dari kantornya masing-masing.

Perayaan kemerdekaan yang biasanya sangat ramai, mendadak sangat sunyi. Bahkan, Paskibraka di Istana Merdeka berkurang hanya menjadi tiga orang. Bila biasanya lomba-lomba 17 Agustusan selalu ramai ditonton, kali ini malah berbeda.

Tahun ini perayaan kemerdekaan Indonesia sangatlah sepi. Kami hanya merayakan hari kemerdekaan dengan memasang bendera di depan rumah.

Tanggal 17 Agustus 2020 adalah bulan keenam saya berada di rumah. Walaupun, beberapa kali saya harus keluar rumah juga saat ada keperluan penting. Dan, setiap kali saya keluar rumah, saya merasa kalau kehidupan kita sudah sangat berbeda. Banyak yang memakai masker dan face shield, budaya berjabat tangan juga berkurang, dan setiap orang menjaga jarak dengan orang lain.

Penggunaan teknologi pun semakin marak dengan adanya pandemi Covid-19 ini. Kalau tidak ada yang namanya teknologi seperti saat ini, mungkin banyak orang yang tidak akan bisa bertahan di rumah, bahkan hanya untuk 2 minggu. Dan, itu yang saya rasakan pada perayaan 17 Agustus tahun ini. Seakan-akan saya dipaksa untuk tidak melakukan apa-apa di rumah. Internet rumah saya mati selama sehari penuh pada 17 Agustus. Kuota ponsel saya pun sudah habis, membuat saya merayakan hari kemerdekaan Indonesia dengan membaca buku dan merenung.

Pahlawan ada di sekitar kita
Selama saya berdiam diri, saya merenungkan tentang pertanyaan “apakah kita sudah merdeka?”. Dan, dengan kondisi seperti saat ini, kelihatannya kita belum merdeka. “Penjajah” kita bukan hanya korupsi, tapi juga pandemi. Pernyataan “merdeka atau mati” terasa lebih nyata saat ini. Dan, seperti para pahlawan kita, kita juga harus bersatu melawan “penjajah” ini.

Kalau dilihat banyak sekali tindakan-tindakan yang menunjukkan kita bergotong royong membantu sesama saat pandemi ini. Saya melihat banyak orang yang mendonasikan makanan dan uang kepada pekerja harian dan tenaga medis. Contohnya yang viral adalah donasi makanan yang digantung di pagar depan rumah dan boleh diambil oleh siapa saja. Lalu ada juga pengumpulan dana untuk donasi penanganan pandemi dari platform digital yang berhasil mengumpulkan dana yang sangat besar dalam waktu singkat. Saya jadi tidak heran kalau Indonesia dinobatkan sebagai negara paling dermawan di dunia dalam “CAF World Giving Index” pada tahun 2018.

Selain itu, banyak juga yang masih berjuang untuk kemerdekaannya sendiri tahun ini, yaitu merdeka secara finansial. Selama pandemi ini, banyak orang yang kehilangan pekerjaan dan terus berjuang mencari pekerjaan atau memulai bisnis sendiri. Bisnis online rumahan juga banyak bermunculan. Lihat saja di sosial media, banyak sekali orang-orang yang mempromosikan bisnis rumahan mereka. Termasuk beberapa teman saya yang sudah memulai bisnisnya saat pandemi ini.

Ada orang-orang yang setiap harinya rela mengantre berjam-jam di stasiun kereta untuk melakukan perjalanan ke kantor mencari nafkah. Semua itu dilakukan demi kemerdekaan secara finansial untuk menafkahi keluarga. Tidak lupa juga dengan perjuangan para tenaga medis yang berjuang agar kita merdeka dari pandemi ini. Bahkan, banyak tenaga medis yang kehilangan nyawanya dalam melawan pandemi ini.

Mungkin di perayaan 17 Agustus kali ini lebih sunyi dari sebelumnya karena kita sedang berjuang dalam kondisi “dijajah”. Saya merasa kalau kita perlu lebih sabar, banyak bersyukur, dan lebih banyak membantu sesama di tahun ini. Tahun ini juga menunjukkan bahwa para pahlawan ada di sekitar kita. Para pahlawan yang saat ini di rumah sakit merawat para pasien, para pencari nafkah yang setiap harinya harus tetap mencari nafkah untuk menghidupi keluarga, dan banyak orang lainnya yang terus berjuang di masa sulit seperti ini.

Penulis: Fendy Wiedardi Limtara
Instagram: @fendywiedardi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pencegahan TPPO di Jogja Diperkuat, Gugus Tugas Dibentuk Kurangi Kasus

Mata Indonesia, Yogyakarta - Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) semakin menjadi perhatian serius di Indonesia, termasuk di Kota Yogyakarta. Korban TPPO seringkali berasal dari kalangan Pekerja Migran Indonesia (PMI), yang terjerat dalam kasus perdagangan manusia akibat berbagai faktor risiko.
- Advertisement -

Baca berita yang ini