MATA INDONESIA, BEIJING – Pemerintah Cina benar-benar dibuat babak belur dalam kasus Evergrande. Kasus ini mengingatkan pada kasus yang terjadi pada tahun 2008 silam, yaitu Kasus Lehman Brothers yang juga membuat Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi.
Kedua kasus ini memiliki kesamaan, yaitu tekanan keuangan yang luar biasa. Kasus ini meresahkan dunia karena takut kejadian “Krisis Ekonomi Global” akan terjadi lagi. Namun, Cina memiliki cara penanganan mereka sendiri yang mampu mengurangi efek dari kasus tersebut, termasuk terhindar dari “Krisis Ekonomi Global”
Kasus ini sebenarnya sudah diprediksi dan diketahui akan terjadi. Bank Sentral Cina menyebut praktik yang digunakan perusahaan Evergrande adalah praktik sembrono. Karena peminjaman yang seenaknya, bahkan tahun lalu perusahaan ini sudah melewati “Tiga Garis Merah”, yang berarti sudah melewati serangkaian ambang batas utang untuk perusahaan pengembang properti meminjam.
Untuk itu Cina mengatasinya dengan melakukan “Restrukturisasi”. Hal ini mencakup penjualan aset-aset pribadi milik Xi Jiayin, Pendiri Evergrande.
Restrukturisasi ini tentu memakan waktu yang tidak sebentar. Rory Green, Kepala bagian riset Cina dan Asia di perusahaan konsultan TS Lombard mengatakan bahwa restrukturisasi Evergrande ini akan memakan waktu bertahun-tahun. Namun karena situasi pendanaan terburuk sudah lewat, salah satunya dengan memberikan skenario yang paling mungkin; memecah Evergrande menjadi unit-unit yang terpisah.
Peran dari pemerintahan Cina juga sangat penting dalam kasus ini. Untungnya, pemerintah dari Negeri Tirai Bambu ini mengendalikan pasar properti di negara mereka melalui bank-bank milik negara. Hal inilah yang memudahkan pihak pemerintahan Cina dalam mengetahui pengembang-pengembang yang mengalami kesulitan. Sehingga dapat segera membuat rencana untuk menanggulangi masalah tersebut.
Sangat berbeda dengan kasus Lehman Brothers saat itu. Pemerintah AS sempat pusing karena masalah legislasi agar dapat memiliki kewenangan untuk mengatasi kasus tersebut.
Pemerintah AS juga tidak mampu mendeteksi masalah yang terjadi sehingga sulit dalam membuat rencana pada saat kasus krisis kredit perumahan di Amerika terjadi.
Cina juga lebih selektif dalam mengambil keputusan untuk bertindak. Dengan memastikan operasional harian Evergrande tidak terganggu. Cina membiarkan Evergrande menyelesaikan proyek-proyeknya sehingga tidak mengganggu kepercayaan warga yang berujung pada menurunnya kepercayaan pada pasar properti di Cina.
Alicia Garcia Herrero, Kepala Ekonom Asia-Pasifik di Bank Investasi Natixis mengibaratkan pemerintahan Cina seperti “ahli bedah” yang sedang melakukan operasi pengangkatan Tumor. Mereka memastikan bagian mana yang perlu selamat.
Perusahaan Evergrande yang mengumumkan bahwa mereka tidak mampu memenuhi kewajiban keuangannya menyebabkan penurunan saham Evergrande yang sangat signifikan sebesar hampir 90 persen tahun ini. Walaupun begitu, Evergrande tidak menggagalkan sebagian pembayaran obligasinya di luar negeri.
Walaupun tidak gagal, hal tersebut tidak menimbulkan krisis ekonomi karena mayoritas pemilik obligasi adalah investor asing dan kaya. Yang khawatir justru reputasi sektor properti di Cina.
Jackson Chan, seseorang dari platform riset pasar keuangan, Bondsupermart, mengatakan bahwa jelas hal tersebut memengaruhi kepercayaan Investor Internasional terhadap obligasi Real Estate Cina di luar negeri. Selain itu, dampak lain dari kasus ini tentu saja berpengaruh pada biaya pinjaman dari investor internasional untuk pengembangan property Cina menjadi lebih mahal.
Reporter: Desmonth Redemptus Flores So