Darah Pada Sprei, Mitos yang Salah tentang Selaput Dara dan Keperawanan

Baca Juga

MATA INDONESIA, LONDON – Selaput dara menjadi pusat perhatian dan kecemasan selama berabad-abad. Seorang perempuan ketakutan seandainya saat ia menghadapi malam pertama pernikahan mereka, tidak mengeluarkan darah dari vaginanya.

Sarras, seorang admin di halaman Facebook ‘Love Matters’ versi Arab. Akun ini memberi edukasi soal percintaan dan pendidikan seks dalam bahasa Arab di media sosial.

Suatu hari ia mendapat pertanyaan terkait darah di malam pertama. ‘Apakah saya perawan?”

Sarras bingung harus menjawab. Ini pertama kalinya dia dikirimi “selfie vagina”.

“Dia mengatakan dia pernah punya pacar. Sekarang ia bertunangan. Dan ingin memastikan dirinya masih perawan,” kata Sarras.

Sarah berhenti bicara, dan meringis. “Saya benci kata ini: maftuuha – ia bertanya apakah vaginanya sudah terbuka.”

Pertanyaan ini muncul akibat tekanan dalam lingkungan keluarganya untuk menjaga keperawanan. Suaminya harus bisa melihat bukti keperawanan dalam bentuk darah.

Keyakinan bahwa selaput dara bisa menjadi bukti fisik perilaku seksual seseorang adalah premis dari tes keperawanan.

Pada 2018, WHO mengutuk praktik tes keperawanan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

Tes tersebut dilakukan dalam bentuk yang berbeda; mulai dari pemeriksaan fisik berupa pengukuran selaput dara atau kelenturan vagina hingga sprei berdarah yang muncul pada ritual malam pernikahan. Bahkan di beberapa negara Timur Tengah, pihak suami harus memperlihatkan darah itu kepada keluarganya.

Satu studi kecil terhadap 36 remaja hamil yang terbit pada 2004, menemukan bahwa staf medis hanya bisa mendeteksi “penemuan pasti adanya penetrasi” dalam dua kasus.

Studi lain tahun 2004 menemukan bahwa 52% gadis remaja yang aktif secara seksual mengaku tidak melihat perubahan yang dapat diidentifikasi pada jaringan selaput dara.

Keyakinan terhadap selaput dara hanyalah dua.

  • Orang yang aktif secara seksual pasti tidak memiliki selaput dara
  • atau orang yang tidak pernah berhubungan seksual pasti selaput daranya utuh.

Darah pada sprei – jenis tes keperawanan di seluruh dunia–juga berdasarkan pada kepercayaan yang salah. Beberapa perempuan mungkin punya selaput dara yang berdarah ketika pertama kali regang saat penetrasi. Dan darah akan keluar jika dilakukan secara tiba-tiba atau tidak rileks.

Tapi darah lebih mungkin keluar karena gesekan pada dinding vagina. Ini  akibat seks yang terpaksa atau kurang pelumasan.

Pendarahan dari seks pertama kali mungkin terjadi atau mungkin juga tidak terjadi, sama seperti kemungkinan pendarahan saat seks lainnya.

Alasan pendarahan saat berhubungan seks antara lain karena cemas, tidak sepenuhnya terangsang atau ada gangguan, seperti infeksi. Ketika seorang dokter kandungan mensurvei 41 rekannya, apakah mereka berdarah saat pertama kali berhubungan seks atau tidak, 63% mengatakan tidak.

Namun di negara-negara yang terus menjunjung tinggi keperawanan dan menjaga seksualitas perempuan, hanya ada sedikit ruang untuk fakta biologis ini.

Studi tahun 2011 di Dicle University, Turki, menemukan bahwa 72,1% siswa perempuan dan 74,2% siswa laki-laki percaya bahwa selaput dara melambangkan keperawanan. Sebanyak 30,1% pria menyatakan bahwa sprei bernoda darah” harus diperlihatkan kepada keluarga pada hari pernikahan.

Hal ini dapat berdampak besar pada masalah seksual perempuan. Kepercayaan ini juga dapat mencegah perempuan mengeksplorasi identitas seksual mereka. Terutama kecemasan seputar seks.

Sebuah studi sosial di Giza, Mesir, menemukan bahwa sebagian besar perempuan merasa cemas dan takut sebelum malam pernikahan. Mereka juga merasa sakit dan panik selama malam pertama dan setelahnya, akibat kepercayaan seputar keperawanan dan selaput dara.

Dalam survei mahasiswa Libanon tahun 2013, hampir 43% perempuan mengatakan tidak akan melakukan hubungan seks pranikah karena takut tidak berdarah pada malam pernikahan.

Studi lain dari Libanon, yang ini dari tahun 2017, menemukan bahwa dari 416 perempuan,  40%-nya melaporkan melakukan seks anal atau oral agar selaput dara mereka utuh ketika menikah nanti.

Mitos selaput dara tidak hanya memengaruhi kesejahteraan seksual perempuan dan bahkan kesetaraan, tapi juga menghambat akses perempuan terhadap keadilan.

Pakistan baru-baru ini melarang tes keperawanan bagi para penyintas pemerkosaan dalam kasus-kasus pengadilan; beberapa negara, terutama di Asia, Timur Tengah dan Afrika utara dan selatan, masih melakukannya.

Banyak dokter di seluruh dunia menawarkan perbaikan selaput dara yang sangat menguntungkan. Sebagai operasi bagi perempuan yang telah melakukan hubungan seks pranikah dan takut akan konsekuensinya jika ketahuan.

Jadi bagaimana cara mengakhiri mitos selaput dara?

Menyebarluaskan hasil-hasil penelitian bisa menjadi awalan, kemudian mengubah praktik hukum yang mendukung tes keperawanan dan mencegah agar profesional kesehatan tidak menyesatkan orang.

Masalahnya adalah banyak dari ide-ide ini tidak hanya tertanam dari generasi ke generasi. Tapi juga dukungan dari nilai-nilai yang tidak selalu membutuhkan atau mengakui apa yang dikatakan ilmu pengetahuan.

Beberapa orang percaya. Salah satu cara untuk mengakhiri mitos ini adalah dengan mengubah nama selaput dara. Ini sepertinya ide yang bagus, mengingat begitu banyak bahasa yang secara harfiah menamakannya “membran keperawanan”. Termasuk bahasa Arab dan Ceko.

Memang, penelitian menemukan bahwa mengganti nama selaput dara mungkin benar-benar dapat mengubah persepsi.

Pada tahun 2009, Asosiasi Pendidikan Seksualitas Swedia memutuskan untuk mengubah kata modomshinna atau “membran keperawanan” menjadi slidkransatau “cincin vagina”,

Kata ini sekarang ada di mana-mana: pamflet layanan kesehatan seksual, surat kabar, badan perencanaan bahasa resmi Swedia. Dan dalam semua komunikasi asosiasi di masa depan.

Hampir 10 tahun kemudian, peneliti Karin Milles mendapati bahwa 86% profesional kesehatan yang di survei telah menggunakan kata “cincin vagina” di klinik dan kunjungan kelas mereka.

Sementara hanya 22% anak muda yang pernah mendengarnya, lebih sedikit yang menunjukkan tanda-tanda melihat selaput dara secara patriarki tradisional. Banyak yang belum tentu menggunakan kata baru itu, namun masih menirukan frasa seks-positif dari pamflet asosiasi.

Dari sedikit yang tahu kata baru, mayoritas menggambarkan modomshinna sebagai “mitos”. Yang lain menyatakan bahwa “itu tidak ada”. Dan banyak yang mengatakan konsep itu sudah tua atau sesuatu yang mereka yakini sebelumnya, di masa kanak-kanak atau sebelum tahu bahwa itu bohong.

Pergeseran bahasa tidak terjadi dalam semalam, tetapi ini adalah permulaan. Ada banyak pendidik seks di dunia berbahasa Inggris yang percaya bahwa kita juga harus mengadopsi cincin vagina.

Kata hymen itu sendiri berasal dari dewa Yunani kuno, Hymen -dewa pernikahan- dan mitos seputar membran telah menodai arti kata itu sendiri.

Tetapi orang Swedia sukses melakukannya karena mereka tidak hanya mengubah kata; tapi juga menjelaskan mengapa mereka mengubah kata itu kepada kaum muda dan profesional medis.

Pemerintah di seluruh dunia tampaknya semakin tertarik untuk melarang praktik seperti tes keperawanan dan perbaikan selaput dara.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Resmi Jadi Kader NasDem, Sutrisna Wibawa bakal Bersaing Ketat dengan Bupati Gunungkidul

Mata Indonesia, Yogyakarta - Mantan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Sutrisna Wibawa, telah resmi bergabung sebagai kader Partai Nasional Demokrat (NasDem). Hal ini jelas memperkuat dinamika politik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gunungkidul 2024.
- Advertisement -

Baca berita yang ini