Bagaimana Pernikahan Dini dalam Kacamata Islam?

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Agama Islam memandang pernikahan sebagai perjanjian yang sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti anjuran Rasulullah SAW, serta dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggung jawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus dilakukan.

Lantas, bagaimana Islam memandang pernikahan di usia dini?

Istilah pernikahan dini merupakan istilah kontemporer yang dikaitkan dengan awal waktu tertentu. Secara umum, pernikahan dini adalah ikatan pernikahan antara perempuan dan laki-laki yang dilakukan saat salah satu atau kedua belah pihak masih berusia di bawah 18 tahun. Pembatasan dalam angka 18 ini sesuai dengan batas usia perlindungan anak yang ditetapkan dalam Konvensi Hak-Hak Anak Internasional pada tahun 1989.

Sementara menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan sesuai dengan syarat dan rukunnya, namun satu di antara kedua mempelainya belum baligh dan secara psikis belum siap menjalankan tanggung jawab berumah tangga.

Hukum Islam memiliki beberapa prinsip terkait pernikahan, yakni perlindungan pada agama, harta, jiwa, keturunan, dan akal. Dalam Islam, tidak melarang adanya pernikahan dini asalkan sudah baligh dan sanggup memberikan nafkah jasmani serta rohani. Berkaitan dengan ini, umat Islam terpolarisasi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang memperbolehkan dan kelompok yang melarang pernikahan dini.

Kelompok yang memperbolehkan didasarkan pada hadis yang mengisahkan Aisyah yang dinikahi Rasulullah SAW ketika berumur 6 tahun, meskipun baru hidup bersama ketika mencapai usia 9 tahun.

Ibnu Syubromah menyikapi pernikahan yang dilakukan Rasulullah SAW dengan Aisyah saat itu sebagai ketentuan khusus yang tidak dapat ditiru oleh umat Islam. Sebaliknya, pakar mayoritas hukum Islam memperbolehkan pernikahan dini karena menjadi hal yang juga lumrah di kalangan para sahabat. Bahkan, sebagian ulama melumrahkan pernikahan diri yang merupakan hasil interpretasi Quran Surat al Thalaq ayat 4, yang berbunyi, “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddah-nya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”

Sedangkan pendapat lainnya menilai bahwa pernikahan Rasulullah SAW dengan Aisyah tidak dapat dijadikan dasar argumentasi diperbolehkannya pernikahan di bawah umur. Salah satu sebabnya, pernikahan dini dipandang dapat menyebabkan masalah kesehatan pada perempuan yang mengalami kehamilan dan persalinan di usia muda.

Selain itu, pernikahan dini menjadi sesuatu yang tidak baik secara etika ketika pernikahan dijalankan malah berdampak negatif. Misalnya, karena kematangan usia yang kurang sehingga belum cukup dewasa, belum memiliki ilmu dan pengetahuan yang memadai sehingga kurangnya material untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Pernikahan Rasulullah SAW dan Aisyah banyak dianggap keliru oleh sebagian orang pada saat ini. Dilansir dari laman About Islam, Direktur Legacy Institute Amerika Serikat, Syekh Hasib Noor menjelaskan, pernikahan Rasulullah SAW dengan Aisyah benar-benar normal di masyarakat saat itu. Konsep ini berbeda antara zaman dahulu dan pada masa modern saat ini. Sebab, perlu dilihat dari konsep masa dewasa, usia berapa yang pantas, dan dibolehkan untuk menikah pada zamannya.

Adapun konsep masa dewasa tersebut merupakan keputusan masyarakat dari waktu ke waktu, dan bersifat situasional.

Berkaitan dengan itu, setiap negara memiliki regulasi sendiri yang mengatur tentang pernikahan. Di Indonesia, pemerintah secara resmi pada September 2019 lalu mengesahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU Perkawinan yang baru itu mengubah batas minimal usia menikah perempuan menjadi 19 tahun (sebelumnya 16 tahun), dan sama seperti laki-laki.

Sebagai individu yang hendak menikah, hal tersebut tentu menjadi polemik antara mengikuti hukum dalam Islam atau peraturan negara. Sebab itu, perlu melibatkan banyak pihak untuk benar-benar memikirkan secara matang, dan menyanggupi semua syaratnya, terutama pilihan menikah di usia dini.

Sejatinya, hukum asal menikah dalam Islam adalah sunah, yaitu jika laki-laki atau perempuan yang mempunyai niat untuk menikah dan telah mampu (baik jasmani maupun rohani), sedangkan masih dapat mengendalikan keinginannya (hawa nafsu) tersebut. Namun, hukum sunah ini bisa berubah menjadi wajib, makruh, mubah dan haram, sesuai dengan kondisi dan keadaan dari masing-masing pasangan yang akan melakukan pernikahan.

Hukum menikah akan menjadi wajib bagi laki-laki atau perempuan (baik menikah dini maupun menikah secara umum) jika dalam keadaannya sudah tidak dapat menahan nafsu seksualnya dan khawatir melakukan perzinaan.

Kemudian, menikah akan menjadi mubah jika laki-laki yang mempunyai niat tapi belum mampu mendirikan rumah tangga atau yang belum punya niat tapi secara materi mampu. Hal ini juga berlaku jika perempuan yang belum punya niat untuk melangsungkan pernikahan.

Hukum menikah akan berubah menjadi makruh apabila pihak laki-laki maupun perempuan belum mempunyai niat dan belum mampu mendirikan rumah tangga atau yang sudah punya niat tapi ragu-ragu untuk melaksakannya.

Sementara, menikah menjadi haram hukumnya apabila pihak laki-laki maupun perempuan yang hendak melangsungkan pernikahan hanya mempunyai maksud untuk menyakiti salah satu pihak dan tidak melaksanakan kewajiban sebagai suami istri. Hal itu sesuai dengan kaidah syara’ yang menyatakan bahwa segala sesuatu kepada yang haram hukumnya haram.

Adapun pernikahan dini, dalam artian menikah di usia remaja atau muda, bukan usia tua, hukumnya menurut syara’ adalah sunah (mandub). Dalam Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaknya kawin, sebab kawin itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kemaluan. Jika belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu.”

Hadis tersebut mengandung seruan untuk menikah bagi ‘para pemuda’ (asy syabab), bukan orang dewasa (ar rijal) atau orang tua (asy syuyukh). Hanya saja, seruan itu tidak disertai indikasi ke arah hukum wajib, maka seruan itu adalah seruan yang tidak bersifat harus alias sunah.

Sementara itu, pengertian pemuda yang dimaksud adalah orang yang telah mencapai usia baligh tapi belum mencapai usia dewasa. Sedangkan yang dimaksud kedewasaan di sini merujuk pada sempurnanya sifat-sifat yang khusus atau spesifik bagi seorang laki-laki.

Reporter: Safira Ginanisa

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Peran Sentral Santri Perangi Judol di Era Pemerintahan Prabowo-Gibran

Jakarta - Kalangan santri dianggap menjadi salah satu elemen bangsa yang mampu terlibat aktif dalam pemberantasan Judi Online yang...
- Advertisement -

Baca berita yang ini