MATA INDONESIA, SEOUL – Serial Squid Game menjadi salah satu yang paling populer. Serial ini mengangkat genre mengenai survival game, di mana para pemeran harus terus menang dan bertahan dalam permainan untuk mendapatkan hadiah yang besar. Ditayangkan di 90 negara, ternyata Squid Game berisi nilai-nilai yang menggambarkan permasalahan nyata tentang kehidupan masyarakat di Korea Selatan.
Apa saja nilai-nilai tersebut?
Pertama, serial Squid Game menggambarkan tentang misogini, yakni istilah untuk orang yang memiliki rasa tidak suka yang berlebihan terhadap wanita. Sangat jelas serial Squid Game mencerminkan budaya misogini melalui dalam adegan Cho Sang-woo, seorang bankir investasi, yang berusaha menghentikan kontestan perempuan untuk berpartisipasi dalam tugas kelompok.
Dalam kehidupan nyata, laporan Kesenjangan Gender dari Forum Ekonomi Dunia pada 2021, menyebutkan Korsel menduduki peringkat ke-102. Ini berarti bahwa Korsel bukanlah negara-negara yang menjunjung tinggi kesetaraan gender, terbukti dari adanya misogini.
Kedua, Serial Squid Game juga menggambarkan tentang pembelot Korea Utara. Kontestan bernama Sae-byok di serial Squid Game, adalah seorang pembelot Korea Utara. Tujuan utama ia mengikuti permainan dan memenangkan hadiah tersebut adalah untuk menyatukan kembali keluarganya.
Di kehidupan nyata, setiap tahunnya memang banyak sekali warga Korut yang mencari suaka (perlindungan) di Korsel. Dan Seoul sudah menyediakan sejumlah pemukiman untuk para pembelot dari Korut.
Ketiga, serial Squid Game juga merepresentasikan kemiskinan di Korea Selatan. Seorang pemeran bernama Gi-hun, adalah mantan karyawan di perusahaan fiktif bernama Dragon Motors. Ia tinggal bersama ibunya yang sedang sakit. Selain gagal di pekerjaan, Gi-hun juga gagal dalam bisnisnya. Dalam serial tersebut, Gi-hun juga tidak mampu membelikan putrinya hadiah ulang tahun yang layak. Ia adalah sosok pekerja gagal yang tidak dapat keluar dari kemiskinan.
Dalam kehidupan nyata, Korsel ternyata masih memiliki lebih dari 16 persen warganya yang hidup dalam kemiskinan. Ini sesuai dengan data Organisation untuk Kooperasi Ekonomi dan Pengembangan (OECD).
Keempat, serial Squid Game juga menggambarkan tentang eksploitasi migran, yang gambarannya oleh seorang tokoh bernama Ali, migran asal Pakistan yang bekerja sebagai buruh pabrik. Ali bergabung dalam permainan tersebut lantaran bosnya di Korsel tidak membayar upahnya selama berbulan-bulan, sementara ia membutuhkan biaya untuk istri dan anak yang masih bayi.
Dalam kehidupan nyata, penokohan Ali menggambarkan rutinitas kerja keras dan eksploitasi beberapa pekerja asing di Korea Selatan. Sebenarnya ada Undang-Undang Perlindungan Tenaga Kerja dalam dua dekade terakhir. Namun masih banyak pekerja migran yang masih mengalami kondisi memprihatinkan.
Kelima, serial Squid Game juga menggambarkan tentang kronisme korporasi dan politik. Tokoh di serial ini bernama Cho Sang-woo seorang bankir investasi yang keluar dari perusahaanya karena menggelapkan dana. Setelah dipermalukan, akhirnya bergabung dalam permainan.
Dalam kehidupan nyata, beberapa tahun terakhir di Korea Selatan memang pernah terjadi skandal yang melibatkan bisnis dan politik. Di tahun 2016 juga terjadi penyelidikan korupsi yang pada akhirnya menjatuhkan Park Geun-hye, presiden perempuan pertama di Korea Selatan.
Terakhir, Serial Squid Game juga merepresentasikan hubungan rumit dengan negara China. Hal ini terbukti dari penggambaran tokoh dalam serial tersebut. Ibu Sae-byok, yang tertangkap karena berhasil sampai ke Korea Selatan melalui daratan China.
Di kehidupan nyata pun, memang terjadi ketegangan antara Seoul dan Cina karena persoalan kostum tracksuit hijau para kontestan di serial Squid Game mirip dengan pakaian dalam film Cina yang tayang pada tahun 2019 dengan judul “Teacher, Like”. Namun permasalahan ini tidak mengurangi kesuksesan serial Squid Game di Cina. Justru malah menjadi bukti ketertarikan global pada budaya Korea.
Reporter: Intan Nadhira Safitri