Mantap! Bantu Tanggulangi Corona di Korsel, Perusahaan Soju Sumbang Alkohol

Baca Juga

MATA INDONESIA, SEOUL – Demi mencegah kian meluasnya peredaran wabah corona di Korea Selatan (Korsel), produsen soju menyumbangkan stok alkoholnya untuk dijadikan sanitizer atau cairan pembersih. Langkah ini ditempuh karena permintaan akan etanol meningkat tajam.

Perusahaan minuman beralkohol khas Korsel ini mendonasikan alkohol untuk hasil distilasi dengan kadar alkohol 17-20 persen dari beras, gandum atau kentang.

“Permintaan etanol untuk membuat disinfeksi meningkat, sementara pasokan terbatas. Kami memutuskan untuk menyediakannya,” ujar salah satu petinggi Daesun Distilling yang berbasis di Busan seperti dikutip Reuters.

Bahkan perusahaan itu juga berjanji akan menyumbang 32 ton etanol untuk disinfektan di gedung-gedung dan tempat publik di Busan dan tenggara Daegu, kota yang menjadi pusat wabah di Korea Selatan.

“Kami berencana terus berdonasi sampai wabah virus corona stabil dan akan menyumbang 50 ton lagi,” kata sumber anonim itu.

Selain Daesun Distilling, Hallasan Soju yang berbasis di pulau Jeju juga menyediakan 5 ton etanol.

Asal tahu saja, rata-rata orang Korsel mengonsumsi soju 12 gelas tiap pekan. Etanol untuk minuman alkohol bisa diproduksi dari fermentasi atau distilasi, biasanya dari tumbuhan dan biji-bijian. Selain beras, gandum, dan kentang, minuman beralkohol itu bisa berasal dari petrokimia.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini