MINEWS.ID, JAKARTA – Puncak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Jambi sebenarnya pada 2015, namun karena sebagian besar lahan yang terbakar adalah gambut, Pemerintah Provinsi Jambi selalu kewalahan setiap peristiwa itu terjadi. Hal itu mengundang dilema bagi daerah tersebut.
Alasannya bagaimana pun aktivitas perkebunan sangat dibutuhkan untuk memperoleh penghasilan asli daerah (PAD).
“Di satu sisi kita butuh investasi di perkebunan, salah satunya di lahan dan hutan gambut. Namun di sisi lain, dengan adanya usaha perkebunan dengan membuat sekat-sekat kanal yang merupakan transportasi di perkebunan untuk mengangkut buah, ini yang menjadi simalakama yang kami hadapi,†kata Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi Apani Saharudin di Jakarta, seperti ditulis 24 September 2019.
Tahun ini luas karhutla menurut Apani mencapai 1972 hektar, sangat jauh dibandingkan 2015 yang melahap 19.005 hektar.
Jika melihat hasil pantauan satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) milik Amerika Serikat (AS), hampir seluruh wilayah Jambi ada titik panas (hotspot). Sedangkan dari pantauan satelit Terra juga milik AS, kabupaten Muara Jambi yang memiliki banyak hotspot.
Kabupaten Muara Jambi adalah wilayah yang terdekat dengan Kota Jambi sehinga dampaknya sangat terasa di Kota Jambi sebagai pusat pemerintahan dan aktivitas masyarakat.
Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, menurut Apani karena lahannya memang memiliki banyak terdiri dari gambut. Dia akui sendiri pengelolaan lahan tersebut sangat sulit dikendalikan.