Oleh: Dewi Suryani )*
Pemerintah Indonesia secara konsisten terus mengimbau kepada seluruh lapisan masyarakat untuk dapat bersama-sama menolak adanya radikalisme guna semakin memastikan perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) pada tahun 2025-2026 bisa berjalan aman serta damai.
Langkah tersebut menjadi bagian krusial dari upaya mitigasi ancaman keamanan, terutama dalam membendung penyebaran radikalisme dan intoleransi yang kerap menyusup melalui ruang digital.
Kesadaran akan potensi kerawanan saat perayaan keagamaan besar mendorong institusi negara seperti Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melakukan langkah-langkah konkret, meski keberhasilan agenda tersebut sangat bergantung pada partisipasi aktif warga.
Aparat keamanan rutin menggelar operasi terpadu seperti Operasi Lilin yang melibatkan ribuan personel gabungan TNI, Polri, serta pemangku kepentingan terkait demi menjamin ketenangan di berbagai lokasi publik.
Selain penguatan fisik, pemerintah berupaya keras memerangi narasi radikal di dunia maya dengan membanjiri ruang siber menggunakan konten positif yang menekankan nilai toleransi, keberagaman, dan ajaran agama yang santun.
Kolaborasi lintas sektoral juga terus ditingkatkan bersama kementerian, tokoh agama, tokoh masyarakat, hingga Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) guna mengedukasi publik mengenai bahaya laten radikalisme.
Partisipasi masyarakat menjadi kunci utama dalam menjaga suasana kondusif. Warga perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap penyebaran paham intoleran dan segera melapor ke aparat jika menemukan aktivitas mencurigakan.
Menjaga kerukunan antarumat beragama dan memperkuat literasi digital dapat mengubah setiap individu menjadi agen anti-radikalisme yang enggan menyebarkan konten negatif. Penguatan nilai-nilai Pancasila yang mengajarkan penghormatan terhadap perbedaan suku, budaya, serta agama tetap menjadi fondasi utama dalam merawat persatuan di tengah keberagaman bangsa.
Melalui sinergi antara otoritas keamanan dan sipil, harapan agar perayaan Nataru berlangsung nyaman, tentram, dan bebas dari ancaman terorisme dapat terwujud. Pemerintah melalui berbagai instansi terus mengajak publik menolak segala bentuk intoleransi sebagai bagian dari strategi pencegahan yang lebih luas.
Ajakan tersebut diimplementasikan melalui program nyata, termasuk kolaborasi multihak dengan organisasi kemasyarakatan Islam dan elemen bangsa lainnya untuk menangkal infiltrasi paham ekstrem.
Dalam konteks penyelesaian konflik di lapangan, Staf Khusus Menteri Agama Bidang Kerukunan Umat Beragama, Gugun Gumilar, menegaskan bahwa kehadiran negara bertujuan memastikan penyelesaian setiap persoalan rumah doa dilakukan secara adil, damai, dan bermartabat.
Tindakan tersebut merupakan bentuk komitmen nyata dalam menjaga perayaan keagamaan umat Kristiani serta seluruh pemeluk agama lain agar berlangsung tanpa gangguan. Gugun Gumilar juga menekankan bahwa penanganan kerukunan umat beragama tidak mungkin dilakukan secara parsial, melainkan menuntut kerja sama kolektif antara pemerintah dan warga demi menciptakan kehidupan yang harmonis.
Sebagai contoh konkret, mediasi polemik rumah doa di Bekasi menghasilkan kesepakatan untuk menempuh proses perizinan sesuai hukum dengan pendampingan penuh dari pemerintah.
Selama proses berjalan, masyarakat memfasilitasi kegiatan peribadatan di lokasi terdekat dan sepakat saling memaafkan guna menjaga kondusivitas lingkungan. Langkah pemulihan sosial dan psikologis bagi anak-anak serta penetapan desa percontohan kerukunan menjadi bukti bahwa pendekatan dialog dan musyawarah dalam bingkai Pancasila serta Bhinneka Tunggal Ika sangat efektif dalam meredam ketegangan menjelang hari besar keagamaan.
Senada dengan upaya tersebut, Direktur Pencegahan BNPT, Prof. Irfan Idris, menekankan bahwa keberagaman Indonesia yang terdiri dari ratusan suku dan ribuan bahasa merupakan kekuatan besar, bukan ancaman.
Namun, bangsa multikultural tetap rawan disusupi konflik jika ada pihak yang membenarkan kekerasan atas nama agama. Irfan Idris menegaskan bahwa terorisme adalah penyimpangan ajaran karena merusak harmoni sosial dan menanamkan kecurigaan antarumat.
Oleh sebab itu, dialog lintas agama yang digelar bersama otoritas terkait sangat penting untuk menghancurkan sekat prasangka serta membangun rasa percaya sebagai cara ampuh melawan propaganda radikal.
Irfan Idris juga menuturkan bahwa Indonesia adalah rumah besar bagi semua keyakinan, di mana perbedaan seharusnya dijalani sebagai anugerah untuk saling mengenal, bukan saling curiga.
Semua agama pada dasarnya mengajarkan cinta kasih dan perdamaian yang harus menjadi landasan dalam menyambut pergantian tahun. Penguatan hubungan batin antarwarga negara akan membuat narasi kebencian kehilangan panggungnya di tengah masyarakat yang solid.
Dukungan terhadap langkah-langkah tersebut juga datang dari kalangan legislatif. Anggota Komisi XIII DPR, Hamid Noor Yasin, menyebut bahwa rasa aman, ketenteraman, dan kesejahteraan merupakan syarat dasar bagi kebahagiaan sebuah bangsa.
Hamid Noor Yasin berpendapat bahwa melawan terorisme bukan hanya menjadi beban bagi BNPT semata, melainkan tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa melalui kolaborasi yang erat. Menurutnya, jika rasa aman dan kesejahteraan warga terjaga dengan baik selama periode Nataru, hal tersebut menjadi indikator nyata keberhasilan bangsa dalam merawat persatuan.
Kesadaran kolektif untuk menolak radikalisme akan memastikan bahwa setiap individu dapat merayakan hari besar mereka dengan tenang. Melalui dialog kebangsaan yang melibatkan tokoh masyarakat, akademisi, hingga mitra deradikalisasi, pemahaman publik akan semakin tercerahkan.
Perayaan Nataru yang damai bukan sekadar target musiman, melainkan manifestasi dari keberhasilan rakyat Indonesia dalam menjaga identitasnya sebagai bangsa yang toleran dan cinta damai. (*)
Peneliti Ideologi dan Kebudayaan – Sentra Pembinaan Ideologi Rakyat (SPIR)
