Ketangguhan Aceh Berakar dari Sejarah, Bukan Bantuan Luar

Baca Juga

Mata Indonesia, ACEH — Ketangguhan Aceh kembali terlihat saat banjir dan tanah longsor melanda sejumlah wilayah pada akhir 2025.

Respons cepat masyarakat dan pemerintah daerah menunjukkan daya lenting yang tidak lahir secara instan, melainkan tumbuh dari sejarah panjang, budaya yang kuat, serta pengalaman kolektif dalam menghadapi krisis berulang.

Sejak masa kolonial, Aceh dikenal sebagai wilayah dengan tradisi perlawanan yang kokoh.

Perang Aceh pada akhir abad ke-19 membentuk struktur sosial yang solid di bawah kepemimpinan ulama dan tokoh adat.

Warisan tersebut menanamkan mental pantang menyerah dan solidaritas tinggi, nilai yang terus hidup dan menjadi fondasi dalam menghadapi bencana alam.

Ikatan budaya dan agama berperan sebagai perekat sosial yang menjaga kebersamaan warga saat tekanan datang.

Pengalaman gempa bumi dan tsunami 2004 turut menguatkan karakter tersebut.

Meski bantuan internasional pernah mengalir, pemulihan Aceh dinilai berhasil karena kemampuan masyarakat lokal mengelola trauma dan membangun kembali kehidupan sosialnya.

Kearifan lokal seperti peran meunasah, sistem gampong, serta kepemimpinan ulama memungkinkan koordinasi cepat dan efektif pada masa darurat.

Anggota Komisi II DPR RI Ujang Bey menilai ketangguhan Aceh dalam menghadapi banjir 2025 mencerminkan kapasitas pemerintah yang telah diperhitungkan secara matang.

“Saya kira pemerintah masih memiliki keyakinan untuk menangani permasalahan banjir di Aceh, dan ketika pemerintah masih belum memberikan lampu hijau terkait bantuan asing artinya sudah memiliki kemampuan untuk menakar segala permasalahannya,” ujar Ujang Bey.

Ia menegaskan pemerintah perlu fokus pada langkah cepat dan terukur untuk menjawab kebutuhan masyarakat terdampak.

Pandangan tersebut sejalan dengan pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menegaskan kesiapan Indonesia menghadapi bencana secara mandiri.

“Saya bilang ‘Terima kasih concern Anda, kami mampu’. Indonesia mampu mengatasi ini,” kata Prabowo dalam rapat kabinet paripurna, meski menerima tawaran bantuan dari sejumlah negara sahabat.

Dari sisi budaya, Ketua Majelis Adat Aceh Kota Banda Aceh sekaligus budayawan Aceh, Drs. H. Ameer Hamzah, M.Si, menegaskan bahwa ketabahan masyarakat Aceh dibangun di atas akidah, adat, dan sejarah perjuangan.

“Musibah dipahami sebagai ujian yang harus diterima dengan ikhlas,” ujarnya.

Ia juga menekankan bahwa adat dan agama di Aceh menyatu erat, membentuk solidaritas sosial yang kuat.

Rangkaian peristiwa tersebut menegaskan bahwa ketangguhan Aceh bersumber dari kekuatan sejarah dan kearifan lokal, menjadikan bantuan luar sebagai pelengkap, bukan fondasi utama.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Kemandirian Pangan dan Energi di Papua Menjadi Pilar Strategis Pembangunan Nasional

Oleh: Markus Yikwa *) Agenda kemandirian pangan dan energi kembali menempati posisi sentral dalam arah kebijakanpembangunan nasional. Pemerintah secara konsisten menegaskan bahwa ketahanan negara tidakhanya diukur dari stabilitas politik dan keamanan, tetapi juga dari kemampuan memenuhikebutuhan dasar rakyat secara mandiri dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, Papua ditempatkansebagai salah satu wilayah kunci, baik untuk mewujudkan swasembada pangan maupunmemperkuat fondasi kemandirian energi berbasis sumber daya domestik seperti kelapa sawit. Upaya percepatan swasembada pangan di Papua mencerminkan pendekatan pemerintah yang lebih struktural dan berjangka panjang. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dalam berbagaikesempatan menekankan bahwa defisit beras di Papua tidak dapat diselesaikan hanya dengandistribusi antarpulau, melainkan harus dijawab melalui peningkatan kapasitas produksi lokal. Dengan kebutuhan beras tahunan yang jauh melampaui produksi eksisting, pemerintah memilihstrategi pencetakan sawah baru secara masif sebagai solusi konkret. Pendekatan ini menunjukkankeberanian negara untuk menyelesaikan masalah dari hulunya, bukan sekadar menambalkekurangan melalui mekanisme pasar jangka pendek. Kebijakan pencetakan sawah baru di Papua, Papua Selatan, dan Papua Barat tidak berdiri sendiri. Pemerintah juga menyiapkan dukungan menyeluruh berupa penyediaan benih unggul, pupuk, pendampingan teknologi, hingga pembangunan infrastruktur irigasi dan akses produksi. Sinergiantara pemerintah pusat dan daerah menjadi prasyarat utama agar program ini tidak berhentisebagai proyek administratif, melainkan benar-benar mengubah struktur ekonomi lokal. Denganproduksi pangan yang tumbuh di wilayahnya sendiri, Papua tidak hanya mengurangiketergantungan pasokan dari luar, tetapi juga membangun basis ekonomi rakyat yang lebihtangguh. Lebih jauh, visi swasembada pangan yang disampaikan Mentan Andi Amran Sulaiman menempatkan kemandirian tiap pulau sebagai fondasi stabilitas nasional....
- Advertisement -

Baca berita yang ini