Minews.id, Kota Kupang – “Bebaskan Erasmus Frans, Tanpa Syarat”. Demikian bunyi salah satu pamflet yang dibawa peserta aksi saat demo kedua di depan Polda NTT, Selasa 16 September 2025. Aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh Aliansi Rakyat Menggugat tersebut membawa sejumlah tuntutan yang berkaitan dengan penutupan akses jalan menuju Pantai Bo’a, persekusi terhadap peserta demo saat aksi di depan Kantor Polres Rote Ndao hingga pembalakan liar kayu manggrove di wilayah tersebut.
Fren Tukan, salah satu massa aksi yang hadir menyampaikan bahwa penangkapan terhadap Erasmus Frans Mandato adalah bentuk kriminalisasi terhadap perjuangan rakyat dan upaya melanggengkan kepentingan investor yang masuk ke Kabupaten Rote Ndao.
“Mereka (investor) ingin memonopoli seluruh pesisir pantai Rote Ndao dan membatasi akses publik. Bahkan, ada kesepakatan yang membatasi akses ke Pantai Bo’a. Ini adalah bentuk ketidakadilan yang harus kita lawan,” ujarnya dalam orasi.
Ia juga mengkritisi tindakan aparat kepolisian saat mengawal aksi serupa yang dilaksanakan di depan Polres Rote Ndao. Mantan Ketua FMN Kupang tersebut menyayangkan pendekatan represif dengan mengerahkan pasukan anti huru-hara, mobil water canon, dan gas air mata, padahal jumlah massa aksi tidak lebih dari 50 orang.
Dirinya meminta Kapolda NTT untuk mengambil tindakan serius, termasuk mengevaluasi kinerja Kapolres Rote Ndao yang dianggap tidak profesional dalam menangani demonstrasi.
“Proses praperadilan akan digelar pada tanggal 22 September, dan aksi-aksi unjuk rasa akan terus berlanjut hingga Erasmus Frans Mandato dibebaskan dari segala tuduhan yang menjeratnya”, katanya.
Hal senada turut disampaikan oleh Ketua Umum IKMAR NTT Irman Baleng. Dirinya meminta agar Kapolda NTT segera mencopot Kapolres Rote Ndao karena diduga melakukan tindakan yang keliru dalam penahanan Erasmus Frans Mandato.
“Bapak Erasmus Frans Mandato merupakan mantan anggota DPRD Rote Ndao selama 10 tahun tapi masih menjadi korban ketidakadilan. Apalagi kita yang masyarakat biasa saja tentu pasti akan diperlakukan secara tidak adil oleh pihak aparat keamanan,” ujarnya.
Ia juga menyoroti terkait tindakan kekerasan yang diduga dilakukan oleh anggota Polres Rote Ndao terhadap satu orang massa aksi perempuan. Hal ini menunjukkan aparat kepolisian sangat berupaya membungkam penyampaian aspirasi masyarakat.
“Maka kami minta kepada Kapolres Rote Ndao untuk menyampaikan permintaan maaf secara terbuka ke publik atas tindakan kerusuhan dan pemukulan saat aksi di depan Polres Rote Ndao,” katanya.
Selanjutnya Ketua FMN Kupang Ama Makin dalam orasinya menegaskan bahwa penutupan akses ke Pantai Bo’a dapat membunuh masa depan ekonomi masyarakat Rote Ndao.
“Pemerintah dan swasta seolah-olah menjadi pemilik tanah, tanpa memedulikan nasib rakyat,” ujarnya.
Ia menambahkan, kebebasan berpendapat dan menyampaikan aspirasi dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 sehingga penangkapan Erasmus dianggap sebagai pelanggaran terhadap konstitusi.
