Oleh : Ratih Safira Utami )*
Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa kerap dianggap sebagai bentuk perjuangan atas kepentingan rakyat. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa aksi tersebut justru sering kali menimbulkan berbagai dampak negatif, baik bagi masyarakat umum maupun stabilitas sosial. Bukannya menghadirkan solusi yang konstruktif, demonstrasi mahasiswa justru memicu ketegangan, kerusuhan, dan gangguan ketertiban yang merugikan banyak pihak.
Di Jakarta, aksi anarkis terjadi di depan Balai Kota ketika sekelompok massa mahasiswa yang hendak berdemonstrasi di Patung Kuda merusak karangan bunga ucapan selamat bagi Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta.
Seorang petugas keamanan Balai Kota mengungkapkan bahwa sekitar 200 mahasiswa yang datang dari arah Gambir menghancurkan setidaknya 30 karangan bunga sebelum aksi dimulai. Peristiwa ini menjadi bukti bahwa demonstrasi mahasiswa sering kali diwarnai tindakan destruktif tanpa alasan yang jelas.
Demonstrasi yang berlangsung di berbagai daerah juga berujung pada tindakan anarkis yang meresahkan masyarakat. Dalam aksi “Indonesia Gelap” yang dilakukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), sekelompok mahasiswa dengan sengaja merobohkan pembatas beton yang telah dipasang oleh aparat keamanan.
Aparat kepolisian telah memberikan imbauan agar aksi dilakukan secara tertib dan tidak merusak fasilitas umum. Namun, massa aksi tetap bersikeras merobohkan pembatas tersebut dengan alasan ingin mencapai Istana Negara.
Tindakan semacam ini tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga menunjukkan bahwa demonstrasi yang dilakukan mahasiswa lebih menekankan aspek provokasi daripada substansi perjuangan.
Di Makassar, demonstrasi mahasiswa bahkan berujung pada bentrokan dengan warga. Sejumlah mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM) menutup penuh ruas Jalan AP Pettarani, menyebabkan kemacetan parah dan memicu kemarahan pengguna jalan.
Warga yang tidak terima dengan aksi tersebut akhirnya terlibat bentrokan dengan massa aksi. Kepolisian yang turun tangan untuk mengamankan situasi justru menjadi sasaran serangan dari kelompok mahasiswa.
Delapan orang yang diduga sebagai provokator ditangkap setelah melakukan perusakan dan menyerang aparat keamanan. Tindakan seperti ini semakin membuktikan bahwa demonstrasi mahasiswa tidak lagi berfokus pada penyampaian aspirasi, tetapi berubah menjadi ajang perusakan dan konfrontasi yang merugikan masyarakat luas.
Selain menimbulkan kerusuhan, aksi demonstrasi mahasiswa juga sering kali mengganggu aktivitas ekonomi. Penutupan jalan dan tindakan anarkis menyebabkan kemacetan parah yang berdampak langsung pada mobilitas masyarakat dan sektor usaha.
Pedagang kecil, pekerja harian, dan pengguna jalan menjadi pihak yang paling dirugikan akibat aksi demonstrasi yang tidak terkendali. Kehidupan masyarakat yang seharusnya berjalan normal justru terganggu akibat ulah sekelompok mahasiswa yang mengklaim membawa aspirasi rakyat.
Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, menyoroti narasi yang digaungkan oleh kelompok demonstran. Menurutnya, kebebasan berekspresi memang merupakan hak setiap warga negara, tetapi hal tersebut tidak boleh digunakan untuk menyebarkan informasi yang menyesatkan.
Narasi “Indonesia Gelap” yang diusung mahasiswa dianggap sebagai bentuk pembelokan fakta yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Pemerintah yang baru dilantik membutuhkan waktu untuk menyelesaikan berbagai tantangan, dan seharusnya diberikan kesempatan untuk membuktikan kinerjanya. Oleh karena itu, aksi demonstrasi yang berujung pada perusakan dan provokasi tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun.
Tuntutan mahasiswa dalam berbagai demonstrasi sering kali tidak didasarkan pada pemahaman mendalam terhadap situasi yang dihadapi negara. Sebaliknya, aksi yang mereka lakukan justru memperkeruh keadaan dan menciptakan ketidakstabilan yang merugikan semua pihak.
Demonstrasi yang berujung pada anarki dan bentrokan bukanlah cara yang tepat untuk menyuarakan aspirasi, melainkan justru memperlemah posisi mahasiswa sebagai agen perubahan.
Jika tujuan utama adalah membawa perubahan yang lebih baik, maka dialog dan kerja sama dengan pihak terkait jauh lebih efektif dibandingkan sekadar turun ke jalan dengan membawa kerusuhan.
Sementara itu, Ketua DPP Partai Golkar Bidang Media dan Penggalangan Opini, Nurul Arifin menegaskan bahwa hendaknya demonstrasi harus dilakukan dengan cara yang konstruktif tanpa ada anarkisme karena justru mengancam stabilitas politik dan ekonomi secara luas.
Di sisi lain, Koordinator Tim Hukum Merah Putih, C Suhadi menilai bahwa aksi demonstrasi bisa berpotensi memecah belah bangsa. Terlebih situasi Indonesia saat ini dalam kondisi yang baik dengan roda ekonomi yang berjalan stabil dan terkendali.
Sudah saatnya mahasiswa memahami bahwa demonstrasi bukanlah solusi bagi masyarakat. Sebaliknya, aksi yang dilakukan dengan cara destruktif hanya menambah daftar panjang permasalahan yang dihadapi bangsa.
Jika benar-benar ingin memperjuangkan kepentingan rakyat, maka jalur intelektual dan diskusi yang konstruktif seharusnya menjadi pilihan utama. Demonstrasi yang dilakukan tanpa strategi yang jelas hanya akan berakhir sebagai bentuk perlawanan yang sia-sia dan merugikan banyak pihak. Oleh karena itu, mahasiswa perlu mengevaluasi kembali metode perjuangan yang dilakukan agar benar-benar memberikan dampak positif bagi masyarakat. (*)
)* Penulis adalah kontributor Persada Institute