Mata Indonesia, Yogyakarta – Politik uang dalam pemilu tidak hanya mengancam demokrasi, tetapi juga merusak mental dan moral masyarakat. Fenomena ini telah menciptakan realitas pahit di mana integritas pemilih tergadaikan oleh imbalan materi, memaksa masyarakat menerima paradigma yang keliru dalam proses pemilihan.
Adanya politik uang membuat nilai suara masyarakat berubah menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Meninggalkan prinsip meritokrasi dan menempatkan kualitas calon pemimpin di urutan kedua setelah kekuatan finansial. Demokrasi dngan demikian kehilangan maknanya, digantikan oleh praktik-praktik transaksional yang justru mengikis kepercayaan publik terhadap politik serta pemimpin yang dihasilkan.
Yang lebih-lebih dari itu adalah terjadinya pemerintahan yang korup dengan politik uang, dimana pejabat terpilih kerap mengutamakan kepentingan sponsor politiknya. Akibatnya, keputusan-keputusan yang diambil cenderung berpihak pada pihak-pihak berkepentingan, sementara kesejahteraan rakyat semakin terabaikan.
Dikenal dengan istilah investive corruption, ketika mereka yang berhasil duduk di kursi kekuasaan akan mengutamakan balas budi terhadap para donatur yang telah “berinvestasi” dalam kampanye mereka, ketimbang fokus pada kepentingan rakyat.
Dalam konteks agama Islam, politik uang identik dengan istilah risywah atau suap yang oleh para ulama dikategorikan sebagai dosa besar. Al-Jurjāni menjelaskan, misalnya, risywah adalah pemberian yang bertujuan untuk membatalkan kebenaran atau menguatkan kebatilan.
Praktik semacam suap ini dilarang keras dalam Islam, sebagaimana firman Allah dalam QS al-Baqarah (2): 188, “Janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) hrta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
Lebih jauh, politik uang juga membawa kerusakan sosial yang lebih luas. Masyarakat yang terbiasa menerima uang atau materi dari kandidat cenderung menjadi apatis, tak peduli lagi pada kualitas calon pemimpin, asalkan keuntungan sesaat dapat diraih.
Apatisme semacam ini melemahkan daya kritis publik, melunturkan idealisme, dan menciptakan generasi yang tidak peduli pada kualitas pemerintahan yang mengatur kehidupan mereka. Dampak mental yang ditimbulkan semakin nyata, mengubah budaya masyarakat menjadi permisif terhadap tindakan-tindakan yang menyimpang.
Firman Allah dalam QS al-Baqarah (2): 205 menegaskan, “Apabila berpaling (dari engkau atau berkuasa), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi serta merusak tanam-tanaman dan ternak. Allah tidak menyukai kerusakan.” Ayat ini memberikan peringatan bagi kita bahwa tindakan-tindakan yang mengabaikan kejujuran dan moralitas hanya akan membawa kerusakan yang meluas.
Politik uang bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan ancaman serius bagi masa depan mentalitas dan moralitas bangsa. Jika tak segera ditanggulangi, budaya politik transaksional ini akan semakin sulit diberantas, meninggalkan generasi mendatang dalam lingkaran ketidakpedulian dan kepentingan sesaat yang merugikan kualitas demokrasi dan kehidupan sosial masyarakat.