MINEWS.ID, JAKARTA – Kehadirannya di Kompleks Kejaksaan Agung (Kejagung) 18 tahun lalu tidak hanya membuat para koruptor dan pejabat gerah, tetapi juga jaksa dan pegawai di Korps Adhyaksa tersebut. Halaman parkir Kejagung yang sebelumnya sering diwarnai mobil-mobil kelas premium, selama Lopa menjabat kita hanya mendapati mobil-mobil sekelas Kijang.
Selama masa jabatan Lopa yang hanya 1,5 bulan sejak 6 Juni hingga 3 juli 2001 memang sering terdengar ‘pergunjingan’ di kalangan jaksa maupun pegawai Kejagung yang merasa tidak enak hati dengan kesederhanaan Lopa. Mereka pun memilih mengandangkan mobil-mobil premiumnya dan menggantikan dengan mobil yang lebih murah untuk ke kantor.
Soal kesederhanaan lelaki kelahiran Pambusuang, Balanipa, Polewali Mandar, Indonesia, 27 Agustus 1935 itu memang sudah sangat terkenal sepanjang karirnya sebagai pejabat Kejaksaan di daerah.
Salah satu cerita yang dikenang orang-orang dekatnya adalah ketika almarhum Lopa menjabat Direktur Jenderal (Dirjen) Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
Menurut cerita Wakil Presiden Jusuf Kalla yang pernah berbisnis otomotif, Lopa menelponnya karena ingin membeli mobil.
Mengingat jabatannya sebagai Dirjen, JK mengira sahabatnya itu sudah pasti menghendaki sedang kelas premium, apalagi Lopa berasal dari keluarga terpandang karena kakeknya adalah Raja Balangnipa dari Mandar. Maka ditawarkanlah sedan Toyota Crown.
Namun, tawaran itu justru mengejutkan Lopa karena harga mobil itu Rp 100 juta. Lalu dia minta JK mencarikan mobil yang lebih murah lagi. Ditawarkanlah sebuah Toyota Cressida seharga Rp 60 juta pada tahun 1990 -an.
Lagi-lagi Lopa menolaknya dengan alasan masih terlalu mahal. Akhirnya JK menyodorkan sebuah sedan biasa merek Corona seharga Rp 30 juta, namun Kalla tidak menyebutkan harganya karena berniat memberikannya kepada Lopa.
Akhirnya JK menyebut harganya Rp 5 juta, tetapi Lopa tahu harganya tidak semurah itu. Dia tetap ingin membelinya dengan harga yang sama dengan pembeli lain.
Kesepakatannya, Lopa membelinya dengan mengangsur setelah membayar uang muka terlebih dahulu.
Lopa melakukan itu bukan karena dia melarat. Setidaknya, Lopa pernah mencatatkan kekayaan pribadinya senilai Rp 1,9 miliar dan simpanan 20 ribu dolar AS. Namun, Lopa hanya ingin hidup sederhana dan tak ingin memakai barang milik negara juga.
Sikap itu juga diterapkan di keluarganya. Tepon dinas di rumahnya selalu dikuncinya. Lopa melarang siapapun di rumahnya memakainya. Untuk itu, Lopa sampai memasang telepon koin di rumah jabatannya, agar tidak campur aduk kepentingan pribadi dan dinas.
Putrinya Aisyah, juga pernah jadi “korban†atas sikap konsisten Lopa. Pada 1984, Aisyah menjadi panitia seminar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Karena kampusnya kekurangan kursi, Aisyah bermaksud minta bantuan ayahnya untuk meminjam kursi. Sampai di kantor Kejaksaan Tinggi, bukan kata “iya†yang diperolehnya. Lopa jelaskan, kursi ini milik Kejati, bukan milik kampusnya.
Lopa meninggal dunia di Riyadh Arab Saudi 3 Juli 2001 pada usia 65 tahun setelah mengalami muntah.
Banyak orang menduga kematiannya tidak biasa, karena ketika berangkat dari Indonesia dalam keadaan segar bugar.
Maka tidak salah jika banyak yang menghubungkan kematiannya dengan sikap keras dia memberantas korupsi. Dalam 1,5 bulan masa jabatannya sebagai jaksa agung, Lopa lah yang membuka penyelidikan kasus mega skandal triliunan rupiah BLBI.
Lopa juga menyeret Bob Hasan yang masuk lingkaran Keluarga Cendana dalam kasus dana yayasan milik Soeharto.
Dia sebenarnya juga sudah memiliki rancangan khusus untuk menyelesaikan kasus Soeharto yang tidak kunjung bisa disidangkan sebelumnya, namun Allah SWT lebih dahulu memanggilnya.
Hingga kini hampir tidak bisa ditemui lagi sosok penegak hukum seperti Lopa yang anti sogok dan memilih hidup dalam kesederhanaan hingga akhir hayatnya.