Rupiah Ditutup Melemah, Perlambatan Ekonomi Eropa Jadi Biang Kerok

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan sore ini, Kamis 15 Agustus 2019 ditutup melemah. Rupiah tercatat turun 0,16 persen ke posisi Rp 14.268 per dolar Amerika Serikat (AS). Sepanjang hari ini, rupiah bergerak dalam rentang Rp14.308 hingga Rp14.245 per dolar AS.

Direktur utama Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan bahwa pelemahan rupiah sore ini disebabkan oleh sejumlah sentimen dari eksternal maupun dari dalam negeri.

Dari eksternal, pelemahan rupiah dibayangi oleh sikap investor yang khawatir tentang perlambatan ekonomi di Eropa, setelah Jerman mengumumkan bahwa produk domestik bruto (PDB) negara itu mengalami kontraksi (turun) 0,1 persen pada kuartal kedua 2019.

“Penurunan pertumbuhan di Jerman disebabkan oleh  ketegangan perdagangan antara ekonomi-ekonomi utama dunia, karena ekonomi Jerman sangat bergantung kepada ekspor dari negara-negara yang sedang bersengketa,” ujar dia pada Kamis sore ini.

Selain itu, kata Ibrahim, aset-aset berisiko di negara berkembang akan kesulitan menjaring peminat. Penyebabnya adalah persepsi risiko resesi yang semakin tebal.

Sinyal ke arah sana terlihat dari inversi  Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor dua dan 10 tahun mengalami inversi alias yang jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang.

Inversi menunjukkan bahwa risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang. Oleh karena itu, inversi kerap dikaitkan dengan pertanda resesi, sehingga investor meminta jaminan lebih untuk instrumen jangka pendek karena merasa ada risiko besar di depan mata.

“Jadi jangan berharap banyak pasar keuangan Indonesia bakal kedatangan arus modal yang deras dalam waktu dekat ini. Akibatnya, sangat sulit bagi rupiah untuk kembali menguat,” ujar dia.

Sementara dari dalam negeri, pelemahan rupiah disebabkan oleh laporan BPS soal Neraca Perdagangan pada Juli 2019 mengalami defisit 63,5 juta dolar AS.

Realisasi tersebut lebih rendah dibanding bulan lalu yang mengalami surplus USD196 juta. Defisit  tersebut seiring dengan impor pada Juli 2019 yang mencapai 15,51 miliar dolar AS. Sedangkan ekspor tercatat lebih rendah sebesar 15,45 miliar dolar AS.

Bila dibanding total ekspor dan impor selama Juni 2019 maka Neraca Perdagangan Juli 2019 mengalami defisit 0,06 miliar dolar AS.

Defisit neraca perdagangan Juli, kata Ibrahim, akan menjadi beban dalam mengarungi perekonomian kuartal III.

“Kalau sepanjang kuartal III neraca perdagangan terus-terusan tekor, maka defisit transaksi berjalan bakal semakin dalam dan menyulitkan Bank Indonesia (BI) untuk melakukan penurunan suku bunga,” kata dia.

Berita Terbaru

Pemerintahan Prabowo-Gibran Berkomitmen Mewujudkan IKN Sebagai Kota Ramah Lingkungan

Oleh: Dewi Ambara* Indonesia kini memasuki era baru dengan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur. Dipimpin oleh Presiden...
- Advertisement -

Baca berita yang ini