MATA INDONESIA, JAKARTA – Gerakan DI/TII memiliki tujuan mendirikan Negara Islam Indonesia. Selain di Jawa Barat dan Jawa Tengah, sejarah pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) juga pernah terjadi di Aceh pasca-kemerdekaan Republik Indonesia. Gerakan DI/TII di tanah rencong pada 1953-1962 menjadi besar karena pengaruh pimpinannya, Teungku Daud Beureueh.
Pada saat itu Daud Beureueh resmi menjabat Gubernur Aceh sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS).
Kemudian RIS diubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yakni pada Mei 1950. NKRI menaungi 10 provinsi berdasarkan Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 1950.
Perubahan ini berimbas kepada Provinsi Aceh uang akan dileburkan menjadi Provinsi Sumatera Utara. Mengenai hal tersebut, Daud Beureueh dan beberapa ulama Aceh tidak sepakat dengan perubahan itu.
Daud Beureueh dan kawan-kawan menginginkan Aceh menjadi kepengurusan tunggal dalam bentuk provinsi.
Menanggapi kedatangan para petinggi negara di Aceh, Daud Beureueh meminta agar dilakukannya pertimbangan kembali terkait penyatuan Aceh menjadi bagian Sumatera Utara.
Justru sebaliknya, Mohamad Natsir selaku perdana menteri malah melakukan pembubaran terhadap Provinsi Aceh resmi pada 23 Januari 1951.
Reaksi keras datang dari sejumlah tokoh Aceh, pemerintah pusat kemudian mengkategorikan sebagai gerakan pemberontakan. Daud Beureueh, baik sebagai ulama atau pemimpin Aceh, memimpin aksi perlawanan.
Daud Beureuh dan masyarakat aceh merasa kecewa dengan kebohongan ini. Mereka merasa telah berkontribusi banyak untuk mendukung kemerdekaan RI. Dengan menyumbang dana pembangunan hingga memberikan bantuan berupa pesawat terbang.
Munculnya gerakan DI/TII di Jawa Barat oleh Maridjan Kartosoewirjo yang mendeklarasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949. Hal ini semakin memantapkan Daud Beureueh untuk turut melawan. Dari Aceh, Daud Beureueh menyatakan bergabung dengan gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosoewirjo.
Kartosoewirjo
Imam Sekarmadji Maridjan Kartosoewirdjo memimpin Negara Islam Indonesia. Dia memberontak dan tak mau mengakui pemerintahan Republik Indonesia yang dipimpin Soekarno mulai tanggal 7 Agustus 1949.
Padahal, hubungan Kartosoewirjo dan Soekarno cukup dekat karena mereka satu kost saat masih menimba ilmu dan mondok di rumah HOS Tjokroaminoto di Surabaya pada tahun 1918-an.
Kartosoewirjo dekat dengan Tjokroaminoto pendiri Partai Serikat Islam Indonesia yang mendapat julukan ‘Raja Jawa tak bermahkota’ oleh Belanda. Kartosoewirjo merupakan sekretaris pribadi Tjokroaminoto dan kerap ikut berkeliling Pulau Jawa.
Dekat dengan Tjokroaminoto membuat Kartosoewirjo lebih dalam mengenal ajaran Islam. Dia pun banyak mendalami Al Quran dan hadis.
Kegiatan dengan Tjokroaminoto ini mempertemukan Kartosoewirjo dengan Soekarno. Namun, jalan politik mereka berbeda. Kartosoewirjo menggalang kekuatan dan mendirikan Negara Islam Indonesia. Ia menggalang kekuatan pasukan laskar Hizbullah dan Sabilillah yang kemudian menjelma menjadi Tentara Islam Indonesia (TII). Pernah menjadi wartawan di harian Fadjar Asia dengan posisi wakil pemimpin redaksi, Kartosoewiryo pada 7 Agustus 1949 di Desa Cisampah, Tasikmalaya memproklamirkan berdirinya NII.
Gerakan ini kemudian berkembang saat di beberada daerah lain di Indonesia. Muncul gerakan serupa yang menyatakan menggabungkan diri dengan NII, yakni Amir Fatah di Jawa Tengah, Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, dan Daud Beureueh di Aceh.
Juni 1962, setelah belasan tahun bergerilya, Kartosoewirjo akhirnya tertangkap tentara RI di pergunungan di Kabupaten Bandung. Gerakan DI/TII pun kemudian menghilang.
Pada 1970-an gerakan ini kembali hidup oleh para tokoh DI yang tersisa. Mereka terinspirasi dari pesan terakhir Kartosoewirjo yang menyebut perjuangan DI memasuki fase Hudaibiyah.
Hudaibiyah adalah nama perjanjian gencatan senjata antara Nabi Muhammad dengan orang-orang kafir Quraisy. Dan menjadi periode penting sebelum pasukan Islam berhasil menaklukkan Makkah.
Namun sebelum gerakan ini kuat, pemerintah RI melakukan penangkapan besar-besaran terhadap tokoh-tokohnya di awal 1977. Beberapa petinggi DI berhasil lolos dari penangkapan.
Petinggi yang lolos ini kemudian menjadi DI sebagai tandzim siri atau organisasi rahasia. Model dan pola mereka menerapkan sistem sel dan terputus. Sampai 1981, sel-sel DI melakukan sejumlah aksi perampokan yang kemudian berhasil terbongkar aparat keamanan. Dan lagi-lagi hampir seluruh petinggi DI tertangkap.
Ali Moertopo
Namun Komando Jihad ini mengundang sejumlah kecurigaan kepada Ali Moertopo. Ia adalah Wakil Ketua Badan Koordinasi Intelejen Negara (Bakin). Kecurigaan komando ini adalah binaan Bakin karena salah satu petinggi Komando Jihad terdapat nama Danu Muhammad Hasan yang dekat dengan Ali Moertopo.
Menurut Majalah Tempo, dalam persidangan di Pengadilan Negeri Bandung pada 1983, Danu Muhammad Hasan tidak menyangkal jika ia adalah “binaan” Bakin. Dalam persidangan itu, jaksa menyebutnya sebagai Panglima Komandemen Perang Wilayah Besar Jawa Madura.
Danu Muhammad Hasan mendapat hukuman sepuluh tahun penjara. Sayangnya, ia meninggal dunia beberapa jam setelah keluar dari penjara di Cirebon. Penyebab kematiannya masih misterius sampai sekarang.
Sel-sel di Komando Jihad akhirnya melahirkan Jamaah Islamiyah. Pada 1987 mereka kembali berkonsolidasi. Kaum Islam modernis ikut membentuk sejumlah faksi. Pelbagai faksi dalam DI sepakat untuk mengangkat Ajengan Abdullah Masduki sebagai imam baru DI. Salah satu yang ikut bergabung ke dalam DI adalah Abdullah Sungkar, pengurus Pesantren Al Mu’min, Ngruki, Sukoharjo.
Ia penganut paham salafi yang memperkenalkan sistem pendidikan yang bersih dari bidah. Situasi ini kemudian menimbulkan masalah. Karena faksi Abdullah Sungkar yang berpaham salafi menentang praktik keagamaan Masduki yang tradisionalis, yakni sebagai penganut ajaran tarekat.
Saat Abdullah Sungkar memintanya untuk meninggalkan paham sufi itu, Abdullah Masduki bertahan dengan pendiriannya. Perselisihan ini membuat Abdullah Sungkar dan kawan-kawannya keluar dari DI pada 1992. Setahun kemudian mereka mendirikan Jamaah Islamiyah.
Dalam pelbagai gerakan turunannya, mereka menjadi pelaku utama aksi-aksi teror dan kekerasan di Indonesia. Kelompok ini semakin kuat setelah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) masuk menjadi bagian dari Jamaah Islamiyah.
Induk organisasi ini berdiri pada 1953 oleh Taqiyuddin an-Nabhani di Palestina. Gerakan politik ini mengusung penegakan sistem khilafah al-Islamiyah. Berbeda dengan awal kemunculan Darul Islam yang masih mengakui batas-batas negara, gerakan ini justru bersifat transnasional. Bagi mereka, konsep negara-bangsa adalah Islam yang sebutan wilayahnya adalah dar al-Islam. Sementara wilayah di luar itu adalah wilayah kafir (dar al-kufr). Organisasi ini tidak mengedepankan kekerasan. Namun, karena ideologinya berseberangan dengan konsep NKRI, maka pemerintah membubarkan organisasi ini.
Reporter : Alyaa