MATA INDONESIA, SEOUL – Di Korea Selatan, makin banyak wanita yang menunda memiliki anak. Alasannya, biaya rumah dan pendidikan sangat mahal.
Seorang pegawai negeri berusia 34 tahun, Lim Eun-young bellum siap memulai sebuah keluarga karena biaya hidup yang tinggi. Dia juga belum siap punya anak karena baru mengenal sang kekasih beberapa bulan lalu.
Tapi, dia sadar waktu tak bisa dihentikan. Usia terus bertambah dan semakin tuan, semakin berisiko untuk bisa punya anak. Untuk itu, dia memutuskan membekukan sel telurnya pada November lalu.
Lim adalah satu dari sekitar 1.200 wanita lajang yang menjalani prosedur membekukan sel telur. Jumlah itu berlipat ganda selama dua tahun. Dia melakukan proses pembekuan sel telur di CHA, sebuah klinik kesuburan di Korea.
“Ini sangat melegakan dan memberi saya ketenangan pikiran mengetahui bahwa saya memiliki telur sehat yang dibekukan di sini,” ujarnya, dikutip dari NDTV, Jumat 13 Mei 2022.
Membekukan sel telur dilakukan untuk memperpanjang waku reproduksi adalah pilihan yang semakin banyak dipilih wanita di seluruh dunia. Tapi, di Korea Selatan, yang memiliki perbedaan sebagai salah satu negara dengan tingkat kesuburan rendah di dunia, mengalami lonjakan pada wanita yang menggunakan layanan CHA.
Tingkat kesuburan, jumlah rata-rata anak yang lahir dari seorang wanita selama masa reproduksinya, di Korea Selatan hanya 0,81 tahun lalu dibandingkan dengan tingkat rata-rata 1,59 negara-negara OECD pada tahun 2022.
Pemerintah menganggarkan 46,7 triliun won (532 triliun Rupiah) tahun lalu untuk mendanai kebijakan yang ditujukan untuk mengatasi tingkat kelahiran yang rendah di negara itu.
“Kami mendengar dari pasangan yang sudah menikah dan menonton reality show televisi tentang betapa mahalnya membesarkan anak dalam hal biaya pendidikan dan segalanya, dan semua kekhawatiran ini diterjemahkan menjadi lebih sedikit pernikahan dan bayi,” ungkap Lim.
Sekitar 52 persen orang Korea Selatan di usia 20-an tidak berencana untuk memiliki anak ketika mereka menikah, mengalami peningkatan pada tahun 2015, menurut survei yang dilakukan pada tahun 2020 oleh kementerian gender dan keluarga negara itu.