MATA INDONESIA, JAKARTA – IHS Markit kembali mengeluarkan rilis mengenai Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia periode Februari 2022. Untuk kali ini, lembaga itu hanya memberikan indeks berada di level 51,20.
Bila melihat hasil indeks PMI Manufaktur itu di level 51,20, angka itu tentu harus membuat pelaku usaha lebih waspada. Pasalnya, seperti disampaikan IHS Markit, masalah pandemi Covid-19 masih membayangi pemulihan ekonomi. Begitu juga sekarang, di tengah adanya risiko lonjakan harga bahan baku akibat kenaikan inflasi di sejumlah negara.
Memanasnya konflik Rusia-Ukraina juga bisa berdampak buruk ke sektor komoditas, khususnya energi yang bisa merembet ke sektor industri. Tak ayal, hal itu membuat pelaku industri khususnya sektor manufaktur tak leluasa menggeber ekspansi.
Faktanya, menurut IHS Markit, Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada Februari 2022 hanya sebesar 51,2 yang merupakan angka terendah dalam enam bulan terakhir. Menurut IHS Markit, kelesuan sektor manufaktur salah satunya dipicu oleh kenaikan kasus varian Omicron Covid-19.
Adanya pembatasan ruang gerak pelaku usaha menyusul pengendalian mobilitas masyarakat, berimplikasi pada tertahannya laju konsumsi. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pun yang dirilis pada Selasa 1 Maret 2022 sudah memberikan sinyal yang tidak bagus berkaitan pemulihan ekonomi. Lembaga itu dalam laporannya menyebutkan untuk pertama kalinya sejak September 2021, indeks harga konsumen (IHK) mencatatkan deflasi pada bulan lalu.
Level tersebut adalah yang terendah sejak Agustus 2021 (43,70) atau dalam enam bulan terakhir. Kendati demikian, PMI Manufaktur Indonesia masih berada dalam fase ekspansif selama enam bulan berturut-turut. Ini tentu menjadi intropeksi bagi pelaku usaha agar tetap menjaganya bahkan menggenjotnya lebih baik lagi ke depannya.
Sebagai informasi, PMI Manufafktur Indonesia berada di atas angka 50 sejak September 2021 dan PMI Manufaktur Indonesia tercatat pernah mencapai rekor tertingginya pada Oktober 2021 (57,2). Pada Januari 2022, PMI Manufaktur Indonesia berada di level 53,7.
Pertanyaan selanjutnya, kenapa selama periode Februari 2022 PMI Manufaktur melemah? IHS Markit dalam laporannya menyebutkan penyebab melambatnya PMI Manufaktur Indonesia adalah melonjaknya kasus Covid-19 di Indonesia. Kenaikan tersebut menurunkan permintaan pekerjaan baru dan produksi.
Sebagai catatan, kasus Covid-19 di Indonesia mulai menanjak di akhir Januari dan melonjak tajam selama Februari. Pada 16 Februari 2022, kasus Covid-19 di Indonesia bahkan mencapai 64.718, atau menjadi rekor tertinggi selama pandemi.
“Produksi manufaktur terus berekspansi, namun tingkat pertumbuhannya berkurang banyak pada Februari karena infeksi Covid-19 kembali naik dan kenaikan biaya input berdampak pada output,” ujar IHS Markit dalam laporannya, Selasa 1 Maret 2022.
IHS Markit juga mengatakan, perusahaan ragu-ragu untuk membangun inventori. Namun, sektor ketenagakerjaan dan aktivitas pembelian bertahan relatif tangguh dan kinerja pemasok membaik. “Tekanan harga secara keseluruhan berkurang selama Februari,” sebut IHS Markit.
Direktur Asosiasi Ekonom IHS Markit Jingyi Pan dalam keterangan resmi menjelaskan gelombang ketiga pandemi Covid-19 menjadi beban baru bagi pelaku industri di tengah pemulihan ekonomi. Hal itu membuat pebisnis lebih berhati-hati dalam mengelola pasokan sejalan dengan prospek melambatnya permintaan di pasar.
Adapun, dari segi harga, baik biaya input maupun output terus menanjak pada kisaran yang melampaui rata-rata jangka panjang. Kenaikan harga bahan baku pun terjadi secara luas di seluruh sektor manufaktur, yang seringkali dibebankan kepada pelanggan. “Perusahaan secara umum bertahan positif, dengan harapan situasi Covid-19 akan stabil.”
Merespons situasi tersebut, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Industri Bobby Gafur Umar mengatakan, kenaikan harga bahan baku terkerek oleh lonjakan inflasi di sejumlah negara maju. Menurutnya, kondisi itu secara langsung maupun tidak langsung berdampak ke bahan baku, mesin-mesin, atau teknologi dari luar negeri akan naik.
Dia menambahkan, kerikil yang mengganjal langkah pelaku usaha kian besar, lantaran perang antara Rusia dan Ukraina berlarut. Kondisi ini berisiko memicu lonjakan harga energi yang memiliki imbas cukup besar pada perekonomian.
Sanksi yang diberikan sejumlah negara terhadap Rusia juga berpeluang menjadi titik panas baru ketidakseimbangan rantai pasok dan logistik dunia. Bobby berharap, pemerintah menelurkan kebijakan subsidi untuk mengatasi kenaikan biaya energi yang berkelanjutan, terutama untuk sektor industri. “Harga Pertamax sudah naik, pasti faktor logistik juga akan naik.”
Dari konteks di atas, pemerintah memang harus mewaspadai dan terus memonitor dampak berkepanjangan konflik Rusia-Ukraina terhadap kelangsungan industri. Konflik itu akan berdampak pada kenaikan biaya energi seperti minyak dan gas. Padahal Indonesia akan mengalami lonjakan inflasi kendati pada bulan lalu mencatatkan deflasi.
Hal ini karena sejumlah faktor. Di antaranya, perang Ukraina-Rusia yang berisiko mengerek harga minyak lebih tinggi. Serta pasokan komoditas pangan yang mendesak. Pasalnya, tekanan dari sisi penawaran juga cenderung meningkat karena inflasi Indeks Harga Produsen (IHP) dan Indeks Harga Grosir sudah berada di atas inflasi IHK.
Tekanan lainnya adalah kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen per 1 April 2022. Normalisasi harga, termasuk kenaikan biaya transportasi, dan cukai tembakau turut memengaruhi inflasi tahun ini.
Mengomentari laporan HIS Markit, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu optimistis pelaku industri mampu melewati gelombang ketiga dengan lebih solid. Optimisme itu berkaca pada gelombang kedua tahun lalu yang menggerus PMI Manufaktur hingga ke level kontraktif. Adapun pada gelombang ketiga, kendati turun, PMI Manufaktur masih berada di zona ekspansif.
Harapannya, laporan IHS Markit menjadi pemicu bagi pelaku usaha untuk menggenjot mesin produksinya lebih kencang lagi sehingga industri manufaktur nasional bisa menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional.