MATA INDOENSIA, JAKARTA-Presidensi G20 menjadi momen penting bagi Indonesia untuk mendorong kebijakan transisi energi hijau yang berkelanjutan, efisien, mudah, terjangkau, dan konkret. Hal itu dikatakan oleh Wakil Menteri BUMN Pahala Nugraha Mansyuri.
“Hampir semua negara sudah memulai transisi energi hijau dengan bertahap mengurangi energi fosil,” ujarnya dalam keterangan yang dikutip di Jakarta.
Dia menjelaskan bahwa perubahan iklim yang ditandai dengan kenaikan suhu global 1,5 derajat celcius sampai 2,0 derajat celcius membuat dunia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon.
Oleh karena itu, menurut Pahala, langkah transisi energi harus dilakukan konkret, bukan lagi retorika, seperti yang diamanatkan Presiden Joko Widodo. Indonesia akan menyusun peta jalan pengembangan energi baru terbarukan secara konkret beserta skema pembiayaan.
Beberapa langkah konkret yang dilakukan, yakni dengan mendorong terciptanya sistem perpajakan nasional untuk karbon. Mulai 1 April 2022, Indonesia mulai mengenakan pajak karbon sesuai amanat UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Pemerintah juga mendorong berbagai proyek pembangunan berkelanjutan dan hijau. Kementerian BUMN mendukung Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang lebih hijau.
“Dalam RUPTL 2021-2030, porsi listrik dengan energi terbarukan sebesar 51,57 persen atau setara 20.923 megawatt,” katanya.
Pemerintah Indonesia memiliki peta jalan transisi energi untuk Indonesia yang tertuang dalam Strategi Besar Energi Nasional. Dalam peta jalan itu, energi baru terbarukan ditargetkan mencapai 23 persen pada 2025 dan mencapai 31 persen di 2050 dalam bauran energi.
“Kita akan kembangkan geothermal karena yang menguntungkan di geothermal. Target penurunan emisi dari perusahaan BUMN 85 juta ton karbon dioksida,’’ ujarnya.
Panas bumi merupakan energi andalan Indonesia karena bisa dijadikan baseload. Biaya penyediaan energinya pun lebih murah dibandingkan energi baru terbarukan yang lain, yakni hanya 7,6-8 sen dolar AS per kWh.
“Bandingkan dengan baterai dari energi surya yang 12 sen dolar AS per kWh jelas geothermal lebih murah, sehingga pemerintah menilai geothermal punya potensi unik untuk dikembangkan,” katanya.
Pahala mengatakan, pihaknya mendorong BUMN untuk mengoptimalkan pengembangan panas bumi di wilayah kerjanya sendiri. Apalagi, saat ini baru 9,0 persen wilayah kerja panas bumi yang berproduksi dengan kapasitas hanya 1.900 megawatt.
‘’Kita masih punya potensi 19 gigawatt. Kami dorong agar Pertamina Geothermal Energy mengembangkan area panas bumi,” katanya.