Belajar Memahami Budaya Papua di Museum Lokal Budaya Jayapura

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAYAPURA – Papua terkenal karena keindahan, keanekaragaman hayatinya dan kekayaan budayanya. Keberagaman budaya Papua ini salah satunya karena banyaknya suku asli di Papua yang jumlahnya mencapai 255 kelompok etnis dan memiliki 326 bahasa daerah.

Pada tahun 2018, ada tujuh karya budaya Papua menjadi Warisan Budaya Nasional oleh Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Karya budaya tersebut antara lain

  • Bhukere atau tradisi menangkap ikan secara tradisional masyarakat Sentani
  • Hellaehili yaitu nyanyian ratapan masyarakat Sentani
  • Tarian karemo
  • Pakaian tradisional sirew
  • Snapmor atau tradisi menangkap ikan ala orang Biak, dan
  • Mumi akonipuk dari Kabupaten Jayawijaya.

Dengan keberagaman seni-budaya dan adat-istiadat yang ada di Papua, tentunya butuh upaya pelestarian yang besar agar generasi selanjutnya mengetahui warisan budaya dari daerah. Salah satu cara melestarikan kebudayaan di Papua adalah belajar di Museum Lokal Budaya. Museum ini berada di kawasan Universitas Cenderawasih, Kota Jayapura.

Hari Suroto sebagai peneliti dari Balai Arkeologi Papua mengatakan kepada Jubi.co.id, bahwa keberadaan Museum Loka Budaya sudah cukup terkenal di kalangan akademisi luar negeri. Tak hanya itu, museum ini menjadi destinasi favorit turis asing. Bahkan, nama museum ini masuk dalam buku Lonely Planet sebagai referensi turis dunia di Papua.

Koleksi museum ini berjumlah 2.500 dan 900. Di antaranya terpajang dalam etalase-etalase kaca. Memang tidak semua koleksi muncul di etalase mengingat adanya keterbatasan ruangan di museum. Apalagi koleksi museum juga selalu bertambah setiap tahun. Untuk mengatasinya, maka setiap lima sampai tujuh tahun, koleksi tersebut terjadi rotasi agar semua bisa mendapat bagian untuk ditampilkan pada pengunjung.

Beberapa benda etnografi yang dipamerkan di Museum Loka Budaya. Antara lain peralatan dapur, peralatan perang, pakaian, perhiasan, alat musik, alat transportasi, peralatan bercocok tanam, berburu, dan menangkap ikan, hingga berbagai benda sakral. Selain itu, ada juga ukiran kayu, lukisan dari kulit kayu, dan manik-manik.

Secara umum, benda-benda koleksi di museum tersebut dibagi dalam lima corak budaya Melanesia. Benda koleksi juga terdiri dari bagian luar dan asli Papua dari Dofonsoro Sepik, Saireri, Pantai Selatan, Pegunungan Tengah, dan daerah Kepala Burung.

Sebagian besar karya budaya dominan warna merah, hitam, dan putih. Terbuat dari bahan alami seperti tanah liat untuk warna merah, kapur barus untuk warna putih, dan warna hitam dari arang kayu. Selain sebagai pewarna, penggunaan bahan alami tersebut juga berfungsi untuk pengawet.

Di museum ini, pengunjung juga bisa melihat tiang kayu sowang. Keistimewaan dari kayu sowang adalah hanya ditemukan di Pegunungan Cycloop Papua.

Tumbuhan ini dikenal dengan kemampuannya tahan api, misalnya saat terjadi kebakaran. Bahkan kayunya juga tahan air sehingga sering dimanfaatkan untuk menjadi tiang penyangga rumah oleh masyarakat yang hidup di pesisir pantai. Semakin terendam air, kayu sowang malah akan semakin keras.

Keberadaan kayu sowang merupakan hal penting bagi masyarakat pesisir sebab bermanfaat untuk kegiatan ritual, pembuatan senjata tradisional, menjadi tiang dan pagar rumah, bahkan sebagai kayu bakar. Sayangnya, kayu sowang memiliki daya regenerasi yang rendah.

Sejarah Museum

Museum Loka Budaya berdiri pada tahun 1970. Pembangunan museum ini tak lepas dari sejarahnya yang melibatkan arkeolog asal Amerika Serikat bernama Michael Clark Rockefeller. Ia adalah anak dari Wakil Presiden Amerika Serikat ke-41, Nelson Aldrich Rockefeller.

Michael mengagumi patung karya Suku Asmat dan Dani. Maka pada 17 November 1961 ia pun melakukan perjalanan ke Papua untuk membuat film dokumenter tentang Suku Dani sambil mengumpulkan karya seni patung untuk dipamerkan di museum di New York.

Michael menempuh perjalanan laut menuju Laut Arafura melewati Sungai Betsj, Kabupaten Asmat. Naasnya, perahu tersebut terbalik dan Michael pun menghilang hingga sekarang. Pada tahun 1964, Pemerintah AS mengumumkan secara resmi kematian Michael. Setelah kejadian tersebut, pihak Nelson melalui Rockefeller Foundation mendanai pembangunan museum di dalam kampus Universitas Cenderawasih.

Kini, untuk menjaga museum sekaligus menambah koleksi baru, ada seorang kurator sekaligus kepala museum yang bekerja di sana yaitu Enrico Yori Kondologit. Di Papua, profesi sebagai kurator memang bukan sesuatu yang umum. Namun, pria lulusan S1-S2 Antropologi Universitas Cenderawasih memilih untuk mengabdi di museum ini.

Enrico tak selalu tinggal di museum, ia juga aktif sebagai peneliti dan rajin berburu benda-benda kuno untuk menambah koleksi museum. Nyatanya tak mudah mendapatkan benda-benda tersebut karena banyak pemilik yang enggan melepasnya. 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Penyesuaian PPN 1% Bagian Dari Visi Besar Pertumbuhan Ekonomi Nasional

Jakarta - Pemerintah melalui kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) penyesuaian 1% yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025, berupaya...
- Advertisement -

Baca berita yang ini