MATA INDONESIA, PYONGYANG – Pemerintah Korea Utara mendesak generasi muda di negaranya menghindari hal-hal berbau Korea Selatan, baik bahasa maupun gaya berbusana. Pyongyang juga meminta generasi muda berbicara dalam bahasa standar Korea Utara.
Tak main-main, pemerinta Korea Utara juga memberikan peringatan, bahkan hukuman berat termasuk penjara dan eksekusi mati bagi generasi muda yang mengadopsi gaya berbusana, gaya rambut, hingga mendengarkan music K–Pop.
Ini adalah bagian dari undang-undang baru yang berusaha untuk membasmi segala jenis pengaruh asing, dengan hukuman yang keras. Surat kabar Rodong Sinmun memperingatkan kaum milenial tentang bahaya mengikuti budaya pop Korea Selatan.
“Penetrasi ideologis dan budaya di bawah papan warna-warni borjuasi bahkan lebih berbahaya daripada musuh yang mengambil senjata,” tulis artikel itu, melansir BBC, Senin, 19 Juli 2021.
Ini menekankan bahwa bahasa Korea berdasarkan dialek Pyongyang lebih unggul, dan bahwa kaum muda harus menggunakannya dengan baik dan benar.
Baru-baru ini, Korea Utara juga berusaha menghilangkan bahasa gaul Korea Selatan, misalnya seorang istri memanggil suaminya dengan sebutan “oppa” – yang berarti “kakak laki-laki” tetapi akrab digunakan untuk memanggil kekasih.
Pengaruh asing, bagi Korea Utara dipandang sebagai ancaman bagi rezim komunis Korea Utara. Korea Utara bahkan tanpa ragu menyebut K-Pop sebagai kanker ganas yang merusak kaum muda di negara tersebut, menurut New York Times.
Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un juga mengibarkan perang terhadap bahasa gaul, jeans, dan film produksi Korea Selatan, Jepang, serta Amerika Serikat. Barang siapa yang tertangkap menonton film produksi negara-negara tersebut, terancam hukuman penjara selama 15 tahun.
Namun terlepas dari risikonya, pengaruh asing terus meresap ke Utara, dan jaringan penyelundupan yang sangat canggih untuk membawa media terlarang dilaporkan terus beroperasi.
Yang Moo-jin, seorang profesor di Universitas Studi Korea Utara, mengatakan kepada Korea Herald bahwa Kim Jong Un, yang dididik di Swiss, sangat menyadari bahwa K-Pop dan budaya Barat dapat dengan mudah meresap ke generasi muda negaranya dan memiliki dampak negatif pada sistem sosialisnya.
“Dia tahu bahwa aspek budaya ini dapat membebani sistem. Jadi dengan menghapusnya, Kim mencoba mencegah masalah lebih lanjut di masa depan,” kata Yang Moo-jin.