Korban Selamat: Ucapan Paus Tak Cukup Mengobati Luka

Baca Juga

MATA INDONESIA, OTTAWA – Korban selamat dari tragedi Kamloops, Saa Hiil Thut yang kini berusia 72 tahun mengatakan bahwa pernyataan Paus Fransiskus tak cukup mengobati luka hatinya.

Saa Hiil Thut juga mengungkapkan, banyak orang tidak bertanggung jawab atas penderitaan yang dia alami selama bertahun-tahun di sekolah asrama yang dikelola oleh Gereja Katolik di wilayah British Columbia.

“Para pelaku semacam terbebas dari hukuman,” kata Saa Hiil Thut, melansir Reuters, Senin, 7 Juni 2021.

“Paus tidak akan mengatakan ‘Anda tahu? Saya mendengar ada (ribuan) kasus pelecehan fisik dan seksual di sekolah-sekolah asrama yang dijalankan oleh gereja kami’. Dia tidak akan mengatakan itu. Dia tidak akan mengatakan ‘Ada 215 anak di kuburan tak bertanda di Kamloops dan mungkin setiap sekolah asrama di Kanada,” tuturnya.

Sementara para pemimpin adat mengatakan bahwa Gereja Katolik perlu berbuat lebih banyak dari sekadar ungkapan rasa sakit. Pernyataan ini menyusul ditemukannya 215 jenazah anak-anak di bekas sekolah asrama untuk siswa pribumi di Kamloops.

Dalam pemberkatan mingguannya di Lapangan Santo Petrus (6/6), Pemimpin Vatikan, Paus Fransiskus mengakui sedih dengan berbagai pemberitaan seputar bekas sekolah asrama untuk siswa pribumi. Ia juga menyerukan penghormatan terhadap hak dan budaya masyarakat asli.

“Kami semua sedih dan sedih. Siapa yang tidak? Ini adalah parodi di seluruh dunia,” kata Ketua Federasi Bangsa Adat Berdaulat di Saskatchewan, Bobby Cameron.

“Betapa sulitnya bagi Paus untuk mengatakan: ‘Saya sangat menyesal atas cara organisasi kami memperlakukan orang-orang First Nations, mahasiswa First Nations selama waktu itu, kami minta maaf, kami berdoa,” sambungnya.

Penemuan bulan lalu di Kamloops Indian Residential School di British Columbia – yang ditutup tahun 1978, membuka kembali luka lama di Kanada tentang minimnya informasi dan akuntabilitas seputar sistem sekolah asrama, yang secara paksa memisahkan anak-anak pribumi dari keluarga mereka.

Sekolah asrama milik Gereja Katolik yang beroperasi antara tahun 1831 dan 1996, secara paksa memisahkan sekitar 150 ribu anak-anak pribumi dari rumah mereka, dengan tujuan untuk mengasimilasi anak-anak pribumi.

Mayoritas anak-anak mengalami pelecehan, pemerkosaan, bahkan kekurangan gizi, dalam apa yang disebut Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tahun 2015 sebagai “genosida budaya”. Dan mayoritas sekolah asrama dijalankan oleh Gereja Katolik atas nama pemerintah.

Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau mengatakan bahwa Gereja katolik harus bertanggung jawab atas perannya di sekolah-sekolah asrama.

Sementara juru bicara Menteri Urusan Pribumi, Carolyn Bennett menegaskan, pernyataan Paus Fransiskus tidak cukup mengobati rasa luka dan kecewa, terutama para keluarga korban dan warga Kanada.

“(Pemerintah) menyerukan lagi kepada Paus dan Gereja untuk meminta maaf atas peran mereka,” tegas Carolyn Bennett.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Memperkokoh Kerukunan Menyambut Momentum Nataru 2024/2025

Jakarta - Menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024/2025, berbagai elemen masyarakat diimbau untuk memperkuat kerukunan dan menjaga...
- Advertisement -

Baca berita yang ini