Ketegangan AS – Cina Berisiko Menimbulkan Konflik Militer

Baca Juga

MATA INDONESIA, WASHINGTON – Pakar Politik Amerika Serikat (AS), Anna Paulina Luna mengatakan bahwa ketegangan yang terjadi antara Paman Sam dan Cina berisiko menimbulkan konflik militer.

Dalam pernyataannya di Newsmax, Luna bersikeras mengatakan bahwa Negeri Tirai Bambu menginginkan konfrontasi dengan AS dan hal tersebut sudah dibuktikan dengan berbagai “serangan” yang dilakukan Cina dalam bentuk lain.

Pernyataan Luna muncul di saat Presiden AS, Joe Biden bersiap untuk melanjutkan dialog mengenai masalah perdagangan dengan Cina usai berbulan-bulan melakukan kontak minimal antara dua kekuatan dunia tersebut.

Ketika ditanya Newsmax mengenai ketegangan yang belum lama ini terjadi di antara kedua negara, Luna mengatakan bahwa AS tidak dapat berada dalam kondisi yang lemah.

“AS tidak dapat dengan cara apa pun secara mutlak, tidak dapat berada di posisi yang lemah. Terutama karena Cina di panggung nasional sama sekali tidak menghormati Amerika Serikat,” kata Anna Paulina Luna, melansir Express, 4 Juni 2021.

“Cina memang menginginkan perang dengan Amerika Serikat. Jadi saya pikir ini lebih dalam dari sekadar ancaman kosong,” sambungnya.

Luna mengklaim bahwa Beijing sudah menyerang AS jauh sebelum pandemi virus corona menyerang dunia. Untuk itu, kata Luna, konflik secara militer berpeluang terjadi antara AS dan Cina.

“Saya pikir itu jelas merupakan unjuk kekuatan bagi Cina untuk dapat melihat seberapa besar mereka secara ekonomi dapat membuat Amerika Serikat menderita,” sambungnya.

“Dan saya pikir ke depan, jika kita tidak bersatu sebagai sebuah negara, jika kita tidak benar-benar menghentikan pertikaian, saya pikir apa yang akan terjadi adalah kita akan menghadapi ancaman yang sangat serius. Berpotensi perang dunia lain dengan China,” tuntasnya.

Awal Desember tahun lalu, media pemerintah Cina mengatakan, retaknya hubungan antara kedua negara tak lagi dapat diperbaiki. Konflik kedua negara kian runcing seiring dengan peperangan antara senator AS, Marsha Blackburn dan reporter Cina, Chen Weihua di Twitter.

Dalam sebuah editorial, Cina memandang keputusan Washington untuk membatasi visa pengunjung untuk anggota Partai Komunis dan keluarga, juga larangan kapas Xinjiang sebagai tanda-tanda yang mengkhawatirkan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini