Civil Society Sayangkan Sikap Koalisi Masyarakat Tolak Label KSP Sebagai Teroris

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang menolak langkah pemerintah menetapkan Kelompok Separatis Papua (KSP) sebagai kelompok teroris disesalkan Civil Society Watch (CSW).

Direktur CSW Ade Armando dalam keterangannya, Minggu 9 Mei 2021, menyebut pernyataan sikap tersebut dapat menimbulkan pandangan negatif masyarakat terhadap upaya pemerintah dalam mengatasi aksi-aksi kekerasan yang melibatkan kelompok pemberontak bersenjata di Papua yang terus memakan korban masyarakat sipil.

Pernyataan sikap koalisi masyarakat sipil itu cenderung menyudutkan pemerintah sebagai pihak yang seolah dengan sengaja berusaha menindas hak asasi manusia (HAM) di Papua, karena melakukan rangkaian langkah tegas dan keras untuk membasmi gerakan bersenjata yang sudah memakan korban rakyat Papua.

Para penandatangan yang menjadi bagian dari koalisi tersebut adalah Imparsial, ELSAM, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, LBH Jakarta, ICJR, PILNET Indonesia, Centra Initiative, HRWG, Setara Institute, WALHI, PBHI, Public Virtue, Amnesty International Indonesia, dan Kontras.

Ade menyebut sejumlah poin dalam pernyataan sikap koalisi masyarakat sipil tidak bermanfaat dan membantu melindungi rakyat Papua dari kekejaman kelompok bersenjata yang sepatutnya dicap teroris. Ade menyatakan yang diperangi pemerintah bukanlah rakyat Papua, tetapi kelompok-kelompok bersenjata yang membuat rakyat Papua menderita.

Ade mengatakan, laporan Gugus Tugas Papua dari Universitas Gajah Mada (UGM) berjudul “Tindak Kekerasan di Papua (2010-2021)” yang baru saja diluncurkan, secara sangat jelas menunjukkan adanya eskalasi kekerasan yang terutama dilakukan KSP dalam sekitar 10 tahun terakhir dengan memakan korban masyarakat sipil, perumahan, fasilitas publik, dan pembangunan infrastruktur di Papua.

”’Dalam kurun waktu tersebut, terdapat setidaknya 299 kasus kekerasan, yang mengakibatkan 395 orang tewas meninggal dunia dan 1579 orang terluka. Sekitar 70 persen dari korban tewas adalah warga sipil. Hampir 90 persen warga yang luka juga adalah warga sipil. Jumlah korban sesungguhnya bisa jadi lebih banyak dari angka-angka yang terekam dalam studi UGM ini,” ujar Ade.

Dikatakan, pola kekerasan yang dilakukan KSP juga semakin brutal. Selain tembakan senjata api, tindak kekerasan juga dilakukan dengan pembacokan, pembakaran, penjarahan, hingga pemerkosaan.

Tim UGM mengungkapkan jumlah kekerasan oleh kaum teroris ini meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pada periode 2014-2016, katanya, rata-rata jumlah tindak kekerasan oleh kaum teroris itu hanyalah 11 kasus per tahun. Namun, pada 2019 sudah naik menjadi 40 kasus per tahun, dan pada 2020 naik lagi sehingga mencapai 64 kasus per tahun. Bahkan, hingga April 2021 sudah terdapat 51 kasus.

“Data dari Tim UGM ini jelas menunjukkan diperlukannya tindakan tegas dari pemerintah untuk melindungi rakyat Papua. Bahkan terdapat kesan bahwa kelompok teroris ini berusaha menyabot program-program pembangunan pemerintah yang dalam beberapa tahun terakhir ini secara aktif digalakkan untuk membangun kesejahteraan rakyat. Pada awal Januari 2021, misalnya, kaum teroris membakar habis BTS 4 dan BTS 5 Palapa Ring yang belum lama dipasang,” ujar Ade.

Untuk itu, Ade menyebut pendekatan kesejahteraan dan kemanusiaan memang harus menjadi prioritas untuk membangun rakyat Papua yang di masa pemerintahan pra-Jokowi sudah terabaikan berpuluh tahun. Namun, katanya, pendekatan kesejahteraan ini hanya akan bisa dilakukan apabila serangan oleh kelompok-kelompok bersenjata tersebut dapat dihentikan.

Ade meyakini kelompok-kelompok bersenjata hanya menempati kelompok kecil dari masyarakat Papua. Selama ini, justru kelompok-kelompok itu yang terus mengorbankan masyarakat Papua untuk misi-misi politik terselubungnya yang sempit.

”Sangat mungkin didanai oleh kekuatan-kekuatan asing atau mereka yang selama ini sudah berhasil menghisap kekayaan Papua untuk kepentingan mereka,” imbuh Ade.

Ade menepis tuduhan koalisi masyarakat sipil yang menyebut pelabelan teroris terhadap KSP dan perang terbuka melawan KSP, sebagai jalan pintas melegitimasi kekerasan, mengabaikan pendekatan keamanan manusi, memperpanjang pelanggaran HAM, menghambat perdamaian, rawan disalahgunakan, serta pelembagaan rasisme dan diskriminasi.

Menurut Ade berbagai tuduhan itu justru menghambat tercapainya stabilitas dan perdamaian di Papua. Dengan kata lain, pembangunan ketidakpercayaan pada pemerintah semacam ini bisa menghambat tercapainya kesejahteraan rakyat Papua.

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pemimpin Terpilih Pilkada 2024 Diharapkan Menyatukan Aspirasi Semua Pihak

Jakarta - Presiden Prabowo Subianto mengatakan bahwa pemimpin daerah yang terpilih dalam Pilkada Serentak 2024 harus mampu menyatukan seluruh...
- Advertisement -

Baca berita yang ini