MATA INDONESIA, JAKARTA – Penampilan merupakan faktor terbesar yang melatarbelakangi terjadinya perundungan atau penyerangan secara verbal, atau dikenal dengan cyber bullying. Berdasarkan data dari Drone Emprit, tercatat sekitar 61 persen yang menilai hal tersebut.
Melihat hal ini, maka tidak heran jika Instagram yang banyak menyajikan penampilan menjadi pusat perundungan. Pemerhati media sosial dan pencetus Drone Emprit, Ismail Fahmi menilai sebuah kewajaran jika Instagram menjadi media yang paling banyak menampilkan cyber bullying.
“Alasan utama orang kena cyber bullying adalah penampilan. Wajar saja, di Twitter penampilan enggak penting. Banyak yang anonym. Kalau di Instagram, penampilan adalah segalanya. Dan itu sumber bully nomor wahid,” kata Fahmi.
Hal ini tidak lepas dari data Drone Emprit yang menunjukkan bahwa cyber bullying paling sering terjadi di Instagram yaitu 42 persen.
Disusul Facebook sebanyak 37 persen, Snapchat 31 persen, WhatsApp 12 persen, Youtube 10 persen dan Twitter 9 persen.
Lalu apa dampaknya? Imbasnya bisa berdampak meski korban tidak berinteraksi secara tatap muka dengan para pelaku. Ismail Fahmi menilai bahwa ada beberapa dampak yang ditimbulkan mulai dari penyalahgunaan minuman beralkohol dan narkoba, esting disorder, bolos kelas, berhenti menggunakan media sosial hingga depresi.
Maka, ia menyarankan supaya korban cyber bullying tidak terlalu merespons serangan yang diterima melalui media sosial. Bahkan, ia menyarankan supaya meninggalkan sejenak kehidupan di media sosial itu.
“Buat yang di-bully, kalau orang dewasa enggak kuat, stop aja dulu, tutup saja dulu akun media sosialnya. Diam saja dulu, karena enggak perlu dilawan bullying bullying itu. Semakin dilawan semakin nge-bully dia,” kata Fahmi.
Fahmi menilai bahwa perundungan di media sosial akan mereda dengan sendirinya dan seiring berjalannya waktu.
Sementara bagi pelaku, sudah sepatutnya menyadari bahwa di balik akun yang diserang ada manusia yang sama seperti dirinya, berperasaan dan bisa mengalami stress.
“Harus biasa melihat bahwa HP itu benda mati, tapi di balik HP itu ada manusia. Bisa jadi saudara, orang tua, atau anak. Orang-orang (pelaku) itu kadang seringnya merasa mereka itu tidak berhadapan dengan orang betulan makanya bisa dengan sangat kejam mem-bully,” kata Fahmi.