Jaga Stabilitas Negara, Cegah Ideologi yang Anti Terhadap Pancasila

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Muhammad Rifqi Muna menegaskan bahwa Indonesia tidak bisa membiarkan ideologi yang anti terhadap Pancasila. Hal ini sebagai wujud pencegahan terhadap ideologi radikalisme dan ekstremisme.

“Kita tidak bisa membiarkan aliran kekuatan baru yang anti negara dan Pancasila untuk hidup di negeri ini,” kata Rifqi Muna kepada Mata Indonesia News, Jumat 26 Februari 2021.

Pancasila tidak hanya sekedar tentang moralitas, toleransi dan gotong royong tetapi memiliki tujuan untuk pembangunan nasional. Ideologi inilah yang diakui sebagai landasan negara Indonesia.

Ia menilai bahwa Pancasila merupakan pondasi dalam membangun negara sehingga penting bagi negara untuk menjaganya dari ancaman ideologi asing terutama radikalisme dan ekstremisme.

“Kalau tidak mau terima itu dalam pendirian bangsa, cari negara lain,” kata Rifqi Muna.

Keberadaan Pancasila menandakan bahwa negeri ini dibangun bersama atas dasar perbedaan agama, etnis dan suku. Kondisi inilah yang rentan untuk dimanfaatkan oleh kelompok radikal dan ekstrem untuk memecah belah bangsa.

Maka aktualisasi Pancasila harus dilakukan untuk memerangi radikalisme khususnya dengan cara merealisasikan toleransi antar umat beragama. Sementara itu, penting untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila di dalam diri masyarakat agar terus menyebar ke berbagai aspek kehidupan bangsa.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Media Sosial sebagai Alat Propaganda: Tantangan Etika dalam Pengelolaan oleh Pemerintah

Mata Indonesia, Jakarta - Di era digital, media sosial telah menjadi saluran utama komunikasi massa yang memfasilitasi pertukaran informasi dengan cepat. Dalam kerangka teori komunikasi, media sosial dapat dilihat sebagai platform interaksi yang bersifat dialogis (two-way communication) dan memungkinkan model komunikasi transaksional, di mana audiens tidak hanya menjadi penerima pesan tetapi juga pengirim (prosumer). Namun, sifat interaktif ini menghadirkan tantangan, terutama ketika pemerintah menggunakan media sosial sebagai alat propaganda.
- Advertisement -

Baca berita yang ini