MATA INDONESIA, JAKARTA – Sengketa Laut Cina Selatan masih bergulir hingga saat ini. Dalam sengketa tersebut melibatkan banyak negara, seperti Republik Rakyat Cina, Taiwan, Brunei Darussalam, Vietnam, Malaysia, dan Filipina.
Laut Cina Selatan dikenal sebagai maritime super highway karena menjadi salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia. Jalur ini merupakan jalur laut internasional, baik untuk kapal dagang atau kapal militer. Bahkan, jumlah kapal tanker yang melewati laut ini lima kali lebih banyak dibangdingkan Terusan Panama.
Diperkirakan, 50 persen perdagangan dunia melintasi jalur ini. Selain itu, pasokan impor minyak bumi, gas alam, batu bara dan bijih besi untuk negara-negara Asia Timur dan Afrika sebagian besar melewati Laut Cina Selatan.
Selain itu, kawasan Laut Cina Selatan diperkirakan memiliki jumlah minyak bumi mencapai 213 miliar barel serta mengandung sumber daya hidrokarbon yang melimpah. United States Geological Survey menaksir bahwa 60-70 persen hidrokarbon tersebut berupa gas alam.
Meski bukan negara yang mengklaim kepemilikan wilayah Laut Cina Selatan, Indonesia turut terpengaruh oleh dinamika sengketa tersebut. Hal ini dikarenakan kedekatan geografis Indonesia dengan wilayah sengketa. Laut Tiongkok Selatan sendiri berbatasan langsung dengan perairan Indonesia di Kabupaten Natuna.
Bahkan, Indonesia pernah terlibat kisruh dengan Indonesia dan Cina. Ketegangan ini bermula ketika kapal nelayan Cina terdeteksi menangkap ikan di dekat perairan Natuna.
Masalah ini pun dapat diselesaikan oleh Indonesia dan Cina guna menjaga stabilitas nasional. ”Sebagai negara pesisir Laut Cina Selatan dan negara-negara besar di kawasan ini, Cina dan Indonesia memikul tugas penting untuk menjaga perdamaian dan stabilitas regional,” kata Geng Shuang, Juru Bicara Menteri Luar Negeri Cina.
Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, pendekatan Indonesia terhadap masalah klaim kepemilikan Laut Cina Selatan sudah bergeser. Dari pendekatan aktif yang berupaya mencari perdamaian atas sengketa menjadi pendekatan yang fokus utamanya melindungi kepentingan nasional terutama di sekitar Kepulauan. Ini dikarenakan Indonesia menilai banyak pelanggaran yang dilakukan Cina terkait kedaulatan di sekitar Kepulauan Natuna.
Walau bukan menjadi negara yang mengklaim wilayah dalam sengketa Laut Cina Selatan, banyak yang beranggapan bahwa Indonesia seharusnya juga dianggap sebagai negara pengklaim. Ini didasari pada fakta bahwa sebagian wilayah ZEE Indonesia di Natuna termasuk dalam wilayah sengketa. Dengan demikian, ada tumpang tindih wilayah antara Cina dan Indonesia.
Namun, pendapat tersebut tidak dapat dibenarkan. Hal ini dikarenakan klaim Cina dengan sembilan garis putus-putusnya tidak berdasarkan pada hukum internasional yang sah, tetapi hanya berupa klaim sejarah. Padahal dalam hukum internasional seperti UNCLOS, laut teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif dihitung dari garis pangkal daratan.
Pemerintah Indonesia sejak mengetahui garis putus-putus tersebut pada tahun 1993 telah berulang kali meminta Cina untuk menjelaskan nya karena garis tersebut mencakup bagian ZEE Indonesia.
Namun, Indonesia berpendapat bahwa berdasarkan hukum internasional klaim apa pun atas hak-hak kelautan seperti perairan teritorial, ZEE, atau hak penangkapan ikan tidak dapat disahkan tanpa adanya suatu acuan kepada daratan. Karena tidak ada persengketaan antara Cina dan Indonesia mengenai kedaulatan atas daratan, sikap yang diambil oleh pemerintah adalah mengabaikan adanya garis tersebut
Dalam kasus yang terjadi di Laut Cina Selatan, peran Indonesia netral. Pada prinsipnya, Indonesia akan menjaga situasi di Laut Cina Selatan agar tetap kondusif, terlebih Indonesia merupakan negara terbesar di ASEAN.
Reporter: Diani Ratna Utami