Lambang 4 Bintang pada Jersey Bayern Munchen, Apa Artinya?

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Sebagai penggemar Bayern Munchen, selama menyaksikan jalannya pertandingan ada banyak hal yang bisa diperhatikan. Salah satunya jersey yang para pemain pakai.

Pernahkah terlintas dalam pikiran mengapa seragam Bayern Munchen terdapat lambang empat bintang di bagian dada? Sebetulnya, hak klub sepak bola untuk menyertakan bintang atau kenang-kenangan lainnya di seragam mereka masih diperdebatkan.

Sering kali, asosiasi sepak bola mengadopsi ‘sistem bintang’ untuk menghargai pencapaian tim. Mereka umumnya akan memberikan lambang emas untuk setiap 10 gelar liga papan atas yang dimenangkan. Namun, setelah kemenangan Bayern Munchen di Liga Champions 2020 atas Paris Saint-Germain yang menjadikan mereka sebagai treble winners, empat bintang yang menghiasi lencana Jerman pada seragam mereka tidak bertambah.

Saat ini, Bayern telah memenangkan enam trofi Liga Champions, dengan catatan perolehan 30 gelar nasional sejak 1932. Lantas, sudah mengantongi enam kejuaraan, mengapa Bayern hanya punya empat bintang? Pada tahun 2004, asosiasi sepak bola Jerman (Deutsher Fussball Bund/DFL) membuat peraturan tentang sistem bintang.

Bintang akan diberikan kepada tim yang telah mencapai tiga, lima, 10, 20 gelar liga dan seterusnya. Namun, rupanya bukan gelar Liga Champions yang menjadi syarat, melainkan gelar Bundesliga yang dimenangkan sejak tahun 1963.

Seharusnya, Bayern sudah memiliki bintang kelima. Hanya saja, gelar nasional pertama mereka pada tahun 1932 tidak dihitung sehingga perolehan gelar untuk sistem bintang masih berjumlah 29. Jadi, Bayern perlu memenangkan satu gelar liga lagi untuk menambahkan bintang ke seragam mereka.

Selain Bayern Munchen, klub sepak bola Jerman lainnya yang memiliki lambang bintang di seragam mereka, antara lain Borussia Dortmund dan Monchengladbach yang masing-masing memiliki dua bintang untuk mewakili lima gelar. Lalu diikuti Werder Bremen, Hamburg dan Stuttgart yang memiliki satu bintang.

Reporter: Safira Ginanisa

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini