Dana Teroris di Indonesia Bersumber dari 13.000 Kotak Amal

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Polisi menemukan fakta terkait pendanaan gerakan teroris yang dilakukan secara masif dan terstruktur di Indonesia. Salah satunya adalah dengan menghimpun dana lewat kotak amal di sejumlah minimarket.

Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri, Brigadir Jenderal Awi Setiyono, dana itu disinyalir dipakai untuk memberangkatkan anggota ke Suriah, pelatihan militer, hingga pembuatan senjata.

Awi pun mengungkapkan bahwa ada 13.000 kotak amal yang tersebar di seluruh Indonesia. Polri menduga para teroris menjalin kerja sama dengan sejumlah yayasan berkedok kemanusiaan untuk menggalang dana lewat kotak amal.

Yayasan ini tersebar di Medan, Lampung, Jakarta, Temanggung, Solo, Semarang, Pati, Yogyakarta, Magetan, Surabaya, Malang, Ambon dan Lombok.

“Dominan cabang yayasan Abd bin Auf berada di provinsi Jawa Tengah,” ujarnya, melansir merdeka.com.

Awi juga menjelaskan bahwa berdasarkan keterangan ketua yayasan Abd bin Auf, total kotak amal yayasan tersebut tersebar di 12 kantor cabang di sejumlah wilayah di tanah air, di antaranya :

1. Kantor cabang Jakarta raya sekitar 43 kotak amal
2. Kantor cabang Lampung sebanyak sekitar 4000 kotak amal
3. Kantor cabang Sumut sebanyak sekitar 1500 kotak amal
4. Kantor cabang Semarang sebanyak sekitar 600 kotak amal
5. Kantor cabang Pati sebanyak sekitar 250 kotak amal
6. Kantor cabang temanggung sebanyak sekitar 200 kotak amal
7. Kantor cabang solo raya sebanyak sekitar 2000 kotak amal
8. Kantor cabang Yogyakarta sebanyak sekitar 1200 kotak amal
9. Kantor cabang Magetan sebanyak sekitar 3000 kotak amal
10. Kantor cabang Malang sebanyak sekitar 1500 kotak amal
11. Kantor Cabang Surabaya sebayak sekitar 1000 kotak amal
12. Kantor cabang Lombok dan ambon belum diketahui

Awi juga mengatakan, pihaknya masih tengah melakukan penyelidikan organisasi lain dalam kasus ini. “Jika terdapat dua alat bukti yang cukup akan ditingkatkan ke arah penyidikan,” katanya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini