MATA INDONESIA, JAKARTA – Praktik korupsi semakin marak terjadi di berbagai negara. Faktor penyebabnya dikarenakan sistem penerimaan dan pengelolaan keuangan yang kurang transparan. Sektor-sektor yang rawan terhadap korupsi, seperti perbankan, perpajakan, penerimaan bea cukai, dan sebagainya. Kasus korupsi sudah sangat mendarah daging dan tak kunjung menemukan solusi. Sayangnya, hukuman bagi para koruptur di Indonesia masih lemah.
Berbagai pendapat timbul tentang korupsi. Tentunya pendapat itu tak sama, tergantung dari sudut pandang orang itu meninjaunya. Tetapi pada umumnya semua berpendapat bahwa korupsi harus diberantas, demi pembangunan dan kesejahteraan. Usaha memberantas korupsi sudah menjadi masalah global, bukan lagi nasional atau regional. Korupsi dipandang bahwa telah menjadi penghalang utama bagi pembangunan nasional, sistem politik, administratif, ekonomi dan sosial. Namun, terdapat sejumlah negara yang menerapkan hukuman ekstrem bagi pelaku korupsi. Simaklah dibawah ini.
1. Cina
Cina menjadi salah satu negara yang paling keras dalam menindak pelaku korupsi. Siapapun yang terbukti melakukan korupsi dapat dipidana atau hukuman mati. Di tahun 2014 terdapat 55 tindakan hukuman mati yang dilakukan oleh negara ini. Pemerintah Cina tak main-main untuk memberantas korupsi di negaranya hingga menyiapkan peti mati untuk para koruptor. Salah satu vonis hukuman mati pernah jatuh kepada Menteri Perkeretaapian Cina Liu Zhijun. Ia divonis hukuman mati karena menerima suap dan menyalahgunakan wewenangnya.
2. Jerman
Negara dengan tingkat korupsi yang rendah yaitu Jerman. Negara ini hampir memasuki tahap maksimal dalam menangani para pelaku korupsi. Jerman tak memiliki lembaga khusus untuk menangani korupsi. Untuk para koruptor di Jerman, hukuman yang diterapkan mengembalikan harta hasil korupsi dan penjara seumur hidup. Hukuman ini telah dinilai setimpal, dengan bukti minimnya pejabat yang berani melakukan tindakan korupsi.
3. Korea Selatan
Jika melakukan korupsi di negara ini akan mendapatkan hukuman berat dan dikucilkan. Dalam upaya memberantas korupsi, Korea Selatan memilih kebijakan untuk membentuk badan antikorupsi, yang berfungsi untuk mencegah melakukan korupsi. Sedangkan dalam hal penegakan hukum, Korea Selatan tetap mengandalkan kekuatan institusi penegak hukum yang ada seperti kepolisian dan kejaksaan. Di Korea Selatan, pelaku korupsi dikucilkan oleh keluarga mereka sendiri dan masyarakat. Maka tak heran jika pelaku korupsi di Korea Selatan bisa depresi hingga bunuh diri.
4. Malaysia
Malaysia memiliki undang-undang anti korupsi bernama Prevention of Corruption Act sejak 1961. Setelah itu, tahun 1982 dibentuklah Badan Pencegah Rasuah (BPR). Di Malaysia ini bagi yang melakukan korupsi dijatuhkan hukuman gantung.
5. Arab Saudi
Jika bagi pencuri saja di Arab Saudi hukumannya tangannya di potong. Lalu, bagaimana dengan yang melakukan tindakan korupsi? Apakah sama hukumannya? Hukuman untuk para koruptur di negara ini sesuai dengan hukum islam, yakni dengan dipancung atau dipenggal. Meskipun tindakan ini kurang berperilaku manusiawi, tetapi ini akan memberikan efek jera kepada yang melakukan tindak korupsi.
6. Amerika Serikat
Amerika Serikat tidak punya badan khusus penanganan korupsi seperti KPK, juga tidak percaya akan hukuman mati karena alasan hak asasi. Koruptor biasanya diganjar ancaman hukuman penjara minimal 5 tahun dan denda 2 juta dollar. Tetapi pada kasus tertentu, ancaman untuk dideportasi ke negara lain juga bisa diterapkan kepada para koruptor. Meski tergolong negara maju, dugaan korupsi di dalam pemerintahan juga masih sangat tinggi.
7. Jepang
Kasus korupsi di Jepang hanya akan mendapatkan hukuman maksimal 7 tahun. Jepang tak memiliki undang-undang khusus korupsi. Di luar hukum, budaya malunya lebih kuat untuk mengatasi persoalan korupsi. Saat seseorang terbukti melakukan korupsi atau terlibat suap, pengacara akan membujuknya untuk mengundurkan diri dari jabatannya dan mengembalikan semua yang sudah ‘diambil’ dari negara. Tapi karena ‘budaya malu’ ini, banyak koruptor di Jepang yang kemudian memilih bunuh diri.
Reporter: Azizah Putri Octavina