Mata Indonesia, Yogyakarta – Pemilu 2024 menjadi simbol dari semakin melemahnya demokrasi di Indonesia. Ketidakhadiran koalisi yang berpijak pada kepentingan rakyat menandakan hilangnya orkestrasi politik yang mampu memperjuangkan kedaulatan rakyat. Suara rakyat kini seolah hanya menjadi bagian dari strategi politik zaken kabinet, yang membuat rakyat bingung akan nasib suara mereka.
Koalisi yang terbentuk tanpa seleksi ketat justru menjadi tempat bagi oknum bermasalah. Beberapa tokoh dengan kasus hukum seolah terlindungi karena keberpihakan pimpinan KPK kepada kekuasaan. Akibatnya, rakyat hanya bisa menjadi penonton dari luar, menyaksikan hukum yang tumpul terhadap koalisi dan pihak berkuasa.
Inisiator Forum Cik Di Tiro, Prof Masduki mengungkapkan sulitnya masyarakat menyampaikan kritik, berkaitan dengan isu pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Tak dipungkiri, tahun 2024 juga menjadi akhir dari era kepemimpinan Presiden Jokowi, yang dikenal sebagai “Bapak Infrastruktur PSN (Proyek Strategis Nasional)”. Selama dua periode, Jokowi telah meluncurkan 244 PSN di berbagai wilayah Indonesia, termasuk Sumatera, Kalimantan, Bali, NTT, Maluku, Papua, dan Jawa.
Meski bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan daerah, fakta menunjukkan bahwa 87 proyek PSN yang mayoritas terkonsentrasi di Jawa lebih mengutamakan infrastruktur seperti jalan tol, destinasi wisata, dan proyek ekstraktif.
“Nah justru pembangunan untuk sektor pertanian dan pedesaan, yang menjadi tumpuan mayoritas masyarakat miskin malah diabaikan,” ujar dia dikutip Kamis, 9 Januari 2025.
Proyek PSN lebih sering dianggap sebagai transaksi ekonomi yang pro pasar dan modal, bukan solusi bagi kesejahteraan petani. Sebaliknya, para petani dan nelayan justru menjadi korban atas perampasan tanah dengan alasan kepentingan umum. Konflik agraria dan ketimpangan struktural pun terus bermunculan, dengan pemerintah cenderung merepresi upaya warga terdampak dalam mencari keadilan.
Sejumlah kasus, seperti Wadas, Rempang, Pantai Indah Kapuk (PIK), hingga Food Estate di Merauke, menjadi contoh nyata bagaimana hukum, anggaran, dan aparat keamanan dikerahkan demi kepentingan modal.
Hak atas tanah, ruang hidup, hingga ruang sosial masyarakat lokal dirampas, menciptakan konflik agraria dan bencana sosial yang diabaikan.
Sepanjang 2024, tercatat 2.939 konflik agraria terjadi di berbagai wilayah, mulai dari Tumpang Pitu, Pakel, hingga Pulau Pari. Sayangnya, penyelesaian hukum sering kali berakhir dengan kriminalisasi warga dan pembiaran atas pelaku usaha.
Dampak sosial, khususnya pada perempuan, juga menjadi perhatian. Solidaritas Perempuan dan KPA mencatat 11 kasus kekerasan berbasis gender dalam konflik agraria yang dilaporkan sepanjang 2024. Perempuan, sebagai penjaga kehidupan dan kedaulatan agraria, kehilangan hak-hak mereka atas tanah, air, dan ruang hidup.
Di tengah situasi ini, muncul wacana amnesti untuk koruptor dan kebijakan “denda damai”, yang dinilai mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Hukuman ringan untuk kasus besar, seperti vonis 6,5 tahun penjara bagi Harvey Moeis terkait kasus korupsi Rp271 triliun, semakin memperkuat kesan ketimpangan hukum di Indonesia.