MATA INDONESIA, JAKARTA – Eksis di masa kepemimpinan Presiden Soeharto, Golongan Karya (Golkar) menjadi kendaraan politik yang digunakan Soeharto pada masa kepemimpinannya di Orde Baru. Kala itu, bersama-sama dengan TNI Angkatan Darat, Golkar menjadi tulang punggung rezim militer dalam Orde Baru untuk melumpuhkan kekuatan PKI.
Di masa pemerintahannya, Soeharto menjadikan Golkar sebagai alat untuk memastikan bahwa mayoritas suara selalu mendukung pemerintahannya dalam pemilu. Caranya dengan menyalurkan dana ke desa-desa guna mempromosikan Pemerintah Pusat. Tak hanya itu, para PNS, pejabat pemerintahan non-PNS, pegawai BUMN/BUMD, aparatur desa, hingga anggota maupun purnawirawan ABRI wajib untuk bergabung dalam Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) dan mendukung Golkar. Kebijakan-kebijakan ini menghasilkan kemenangan besar pada pemilu tahun 1971.
Saat itu Soeharto juga memiliki kebijakan untuk menggabungkan sembilan partai politik menjadi dua partai saja. Yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang terdiri dari partai-partai Islam. Dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang terdiri dari partai-partai nasionalis dan Kristen.
Di masa pemerintahan Soeharto, segi perekonomian memang mengesankan karena angka-angka pertumbuhan makro ekonomi yang melaju. Namun masyarakat tidak puas dan menilai pemerintah hanya fokus pada kegiatan menarik investor asing. Kesempatan investasi yang besar juga hanya berlaku bagi perwira militer dan sekelompok kecil warga keturunan Tionghoa.
Tahun 1980-an menjadi tahun-tahun yang cemerlang bagi Soeharto. Ia berada pada puncak kekuasaannya. Ia dapat memenangkan pemilu dengan mudah. Ia juga membuat para perwira militer menjadi tidak berkuasa dan hanya tunduk untuk mengerjakan kebijakan-kebijakannya.
Namun di tahun 1990-an, Soeharto mulai kehilangan kontrol. Perkembangan ekonomi Indonesia yang meningkat membuat rakyat lebih melek untuk mendapatkan pendidikan. Masyarakat yang terdidik ini merasa frustasi karena tidak mendapatkan kesempatan untuk berkontribusi mengubah keadaan perpolitikan Indonesia. Para pengusaha juga sama frustasinya. Mereka tidak mendapatkan kesempatan bisnis karena kesempatan tersebut hanya berlaku bagi keluarga dan rekan-rekan Soeharto.
Permasalahan lain juga timbul dalam posisi di parlemen. Soeharto banyak memberlakukan kebijakan yang mencampuri urusan internal PDI. Megawati Soekarnoputri terpilih menjadi Ketua PDI menggantikan Suryadi di tahun 1993. Pemerintah sempat meminta pemilihan ulang dan tidak mengakui keputusan. Alasannya tentu karena Megawati adalah anak dari mantan Presiden Soekarno.
Sejarah Partai Golkar?
Di masa Orde Baru, Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) didirikan oleh Soeharto dan Suhardiman pada 20 Oktober 1964. Di tahun ini golongan-golongan militer, khususnya TNI Angkatan Darat, menghimpun berbagai organisasi ke dalam Sekber seperti organisasi pemuda, sarjana, wanita, buruh, tani, nelayan, dan masih banyak lagi.
Usai Peristiwa G30S/PKI Sekber Golkar, mendapat dukungan sepenuhnya dari Soeharto sebagai pimpinan militer, untuk melancarkan aksi-aksinya menghadapi PKI beserta ormasnya yang kian lama semakin meresahkan, baik dalam Front Nasional maupun di luar Front Nasional, dan juga melemahkan kekuatan Soekarno.
Sekber Golkar menjadi wadah bagi golongan-golongan (golongan fungsional maupun golongan karya murni) yang tidak berada di bawah pengaruh politik tertentu. Semakin lama pun jumlah golongan atau organisasi yang bergabung dengan Sekber Golkar bertambah semakin pesat, semula hanya ada 61 golongan atau organisasi, kemudian akhirnya menjadi 291 golongan atau organisasi.
Golongan atau organisasi yang tergabung dalam Sekber Golkar terbagi menjadi tujuh Kelompok Induk Organisasi (KINO), antara lain Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI), Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO), Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM), Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI), Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), Organisasi Profesi, dan Gerakan Pembangunan.
Saat pemilu tahun 1971, Golkar turut serta menjadi salah satu kontestan. Namun kala itu banyak sekali partai-partai politik lainnya, yang meremehkan Golkar, termasuk pula pola komunikasi politiknya. Padahal kenyataannya partai-partai politik lainnya tidak menyadari jika tokoh-tokohnya telah banyak yang berpindah ke Golkar akibat dari perpecahan internal mereka.
Ternyata Golkar sukses dalam pemilu tersebut dan berhasil memperoleh suara sebanyak 62,79% dari total perolehan suara. Lalu pada tanggal 17 Juli 1971, Sekber Golkar berubah menjadi Golkar. Hal ini sesuai dengan ketetapan MPRS, yang menyatakan bahwa Indonesia memerlukan penataan kembali kehidupan politik.
Golkar menyatakan diri bukan partai politik, hanya sebagai perwakilan lembaga-lembaga representatif bagi golongan yang ada di masyarakat. Hal Ini karena partai politik terkesan mengutamakan sisi politik saja tanpa mendukung pembangunan dan karya.
Pada September 1973, Mayjen Amir Murtono terpilih sebagai Ketua Umum Golkar yang terpilih melalui Musyawarah Nasional (Munas) I di Surabaya. Konsolidasi Golkar pun mulai berjalan seiring dibentuknya wadah-wadah profesi, seperti Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), dan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).
Di masa Order Baru ini Golkar dan TNI-AD menjadi tulang punggung bagi rezim militer. Selama Orde Baru berkuasa, hampir seluruh jabatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif diduduki oleh kader-kader Golkar.
Golkar mengalami masa kemunduran dan mulai banyak mendapat penentangan dari masyarakat di tahun 1998, bertepatan dengan pengunduran diri Soeharto. Namun anehnya, Golkar justru bertahan di dua besar selama beberapa pemilu setelah reformasi. Malah di Pemilu 2004, Partai Golkar menjadi pemenangnya mengalahkan PDIP.
Reporter: Intan Nadhira Safitri