Laboratorium Shabu Dibuat untuk Danai Gaya Hidup Mewah Pemimpin Korut

Baca Juga

MATA INDONESIA, PYONGYANG – Kim Kuk-song – yang merupakan mata-mata top untuk Korea Utara sebelum membelot ke Selatan, mengungkapkan bagaimana laboratorium shabu dibuat untuk memproduksi obat-obatan demi menghasilkan uang dan mendanai gaya hidup mewah sang pemimpin.

Kim Kuk-song membelot ke Korea Selatan tahun 2014 setelah menghabiskan 30 tahun sebagai pengintai di utara dan berusaha untuk menjadi kepala intelijen.

Kepada BBC, Kim mengatakan di bawah perintahan pemimpin Korea saat itu, Kim Jong-il, dia mendirikan jalur produksi untuk obat yang juga dikenal sebagai es.

“Produksi obat-obatan di Korea Utara Kim Jong-il mencapai puncaknya selama Maret yang sulit. Saat itu, Departemen Operasional kehabisan dana revolusioner untuk Pemimpin Tertinggi,” kata Kim Kuk-song, melansir Mirror.

“Setelah ditugaskan untuk tugas itu, saya membawa tiga orang asing dari luar negeri ke Korea Utara, membangun basis produksi di pusat pelatihan kantor penghubung 715 Partai Buruh, dan memproduksi obat-obatan,” sambungnya.

Uang yang dihasilkan dari pembuatan obat-obatan tersebut kemudian digunakan untuk mendanai gaya hidup mewah sang pemimpin, sementara ribuan orang tewas dalam kelaparan, kata Kim.

Sebelumnya telah dilaporkan bahwa Korea Utara membuat metamfetamin selama tahun 1990-an dan 2000-an melalui ekspor obat-obatan sebelum negara itu mulai menghentikannya. Hal itu menyebabkan perdagangan berlanjut secara ilegal.

Korea Utara sekarang diyakini memiliki masalah yang signifikan dengan penggunaan narkoba di antara penduduknya dengan orang-orang yang menggunakan shabu secara teratur, atau bahkan memberikannya sebagai hadiah misalnya untuk Tahun Baru Imlek yang merupakan salah satu hari libur terpenting di negara tersebut.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini