Menurut Darmawan, PLN juga mengusulkan skema kerja sama yang menekankan perlunya pemenuhan kebutuhan domestik selain mendukung ekspor. Darmawan menegaskan pihaknya sempat masuk kondisi kritis akibat ketidakpastian pasokan, namun berkat dukungan banyak pihak situasi dapat terkendali. ”Atas dasar itu pula, PLN memilih untuk melakukan kontrak jangka panjang langsung dengan penambang,” ujarnya.
Selain itu, PLN juga melalukan digitalisasi pengelolaan batu bara menjadi langkah strategis perusahaan untuk memastikan rantai pasok batu bara dapat terjaga dengan baik. Dia menuturkan perseroan membangun sistem manajemen terpusat dan berbasis digital mulai dari perencanaan, transportasi, operasi, hingga evaluasi penggunaan batu bara.
”PLN juga membangun Early Warning System(EWS) apabila terdapat potensi terjadinya keterlambatan stok batu bara, termasuk akibat cuaca buruk,” katanya.
Regulasi tersebut mengatur sanksi yang lebih tegas kepada perusahaan batu bara yang tidak memenuhi persentase penjualan batu bara Domestic Market Obligation (DMO) atau kontrak penjualan dengan pengguna batu bara dalam negeri.
Pemerintah telah menetapkan kewajiban DMO batu bara sebesar 137,5 juta ton dengan peruntukan sekitar 113 juta ton batu bara dialokasikan untuk bahan bakar pembangkit listrik PLN dan IPP, sementara sisanya untuk kebutuhan industri.
Dengan keluarnya regulasi ini, maka Kementerian ESDM secara berkala melakukan pengawasan DMO pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) secara berkala.
Melalui koordinasi dengan PLN, Kementerian ESDM akan memastikan jika ada kekurangan dalam jangka bulanan.
Selain itu, pemerintah juga sudah menyiapkan strategi untuk menjaga keberlangsungan pasokan batu bara untuk kebutuhan domestik, termasuk dengan melakukan klasifikasi jenis batu bara yang dibutuhkan pembangkit.