MINEWS – Tercatat pada 2017, korban tewas akibat kecelakaan lalu lintas mencapai 703 jiwa. Sementara pada 2018, korban tewas 503 jiwa. Akibat kecelakaan lalu lintas tahun 2017, 732 orang luka berat. Tahun 2018, jumlah yang luka berat 458 orang. Ini yang tercatat!
18 Juni 2018, Kapal Motor (KM) Sinar Bangun tenggelam di Danau Toba, hampir 190 orang korban. Hari itu, kapal yang semestinya berkapasitas 40 penumpang, dijejali 211 orang. Bah!
Lain waktu, di 4 Juli 2018, KM Lestari Maju tenggelam waktu berlayar di perairan Selayar, Sulawesi Selatan. Kapal ini mengangkut 164 orang, termasuk nakhoda. Terindikasi kapal lagi tak laik layar, sehingga waktu dimainkan ombak, air laut masuk ke dek kapal lantai bawah. 36 orang meninggal dunia.
4 Agustus, Kapal Satya Kencana berpenumpang 250 orang terbakar di perairan Laut Jawa,
14 September 2018. KM Fungka Permata V yang bermuatan 101 orang penumpang dari Kota Baubau Sulawesi Tenggara menuju Sulawesi Tengah, terbakar hebat di perairan Pulau Sagu Kecamatan Bangkurung Kabupaten Banggai Laut Sulawesi Tengah.
Lion Air JT 610 rute Jakarta – Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung jatuh di Tanjung Karawang, Jawa Barat. Pesawat membawa total 189 orang. Indonesia menangis.
Tiga orang tewas, lebih dari 20 lainnya luka akibat jatuh dari viaduk saat menonton drama kolosal ‘Surabaya Membara’ di Jalan Pahlawan, Surabaya pada Jumat (9/11/2018).
Ini hanya kecelakaan yang ada dalam kepiluan saya saja.
******
Pada
sebuah sore. Di mulut pelabuhan ombak tak terlihat besar, tapi antrian di Pelabuhan
penyeberangan Ketapang mengular. Menjelang lebaran selalu begini. Kapal ramai hilir
mudik, penuh muatan. Meriah sekali
pelabuhan ini. Dua jam kemudian, giliran kami masuk ke perut kapal. Rupanya
palka sudah sesak oleh mobil. Juru parkirnya gesit. Telunjuknya berwibawa,
setir harus ikut perintahnya. Akh, diaturnya posisi mobil sampai himpit sekali. Sulit buka pintu mobil.
Ini posisi tidak manusiawi, mobil tak punya renggang sama sekali. Hatta dilalui pun tak bercelah. Sulit mencari jalan untuk naik ke atas, tempat penumpang berhimpun. Yang menarik, di perut kapal ini, tak semua mesin mobil dimatikan, sejumlah Bus malah terang-terangan menghidupkan mesin, agar ac tetap menyamankan penumpang yang tak turun. Pun mobil lain, banyak yang melakukan hal sama.
Jangan tanya bagaimana bau asap knalpotnya. Angin bertiup kencang. Ombang semakin bertingkah.
Sore itu, sepertinya tak seorang pun membayangkan andai di tengah tumpukan kendaraan bermotor ini, ada percikan api. Habislah kita seutuhnya! Tak ada ruang penyelamatan. Palka kapal penuh kendaraan. Saya pastikan over kapasitas. Sekeliling bibir kapal, aku longok-longok skoci, tak seberapa jumlah. Pun dengan alat pemadam kebakaran yang, entah masih berfungsi, entah pajangan. Ketika saya was-was, para perokok asik masyuk saja menyedot rokoknya dalam-dalam. Bah!
Untung 55 menit cepat berlalu, kapal merapat ke Gilimanuk. Alhamdulilllah. Memang tak terjadi apa-apa. Tapi dalam hati tetap tak terima, Ketakutanku tetap melayang-layang, membayangkan serendah itukah harga diriku dipandang para pelaku penyeberangan gilimanuk-ketapang? Tak setipis ari pun keselamatan menjadi pertimbangan.
Keselamatan, secara hakekat sebuah harga mati. Tak boleh ditawar. Jangan ditarakan dengan kepentingan lain. Apapun taruhannya, jika urusan sudah berkait dengan keselamatan dan nyawa, yang lain minggir! Bukan sebaliknya nyawa yang harus minggir.
Kuingat sebuah peristiwa, Kapal Wimala Dharma, pada 7 September 2003, saat bertolak dari Pelabuhan Penyeberangan Padang Bai ke Lembar dengan muatan 7 truk besar, 7 truk sedang, 1 bis besar, 2 mobil pribadi dan 8 sepeda motor serta 125 penumpang dan awak kabin serta 15 ABK termasuk nakhoda. KMP Wimala Dharma diberangkatkan dengan kondisi kelebihan muatan. Overdraft. Di tengah perjalanan, ketika di mainkan ombak, kapal ini tak berdaya. Tenggelam di kedalaman 300 meter – 500 meter. Apa kurang dramatiknya musibah seperti ini?
Jangan salahkan ombak, jangan salahkan kedalaman laut dan ketinggian langit. Kebanyakan musibah terjadi karena kita tidak menghormati sisi kemanusiaan kita. Sisi yang paling hakiki.
By Hussen Gani Maricar (Jurnalis)