Target 1 Juta Barel Minyak di 2030, antara Mimpi dan Harapan

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Sektor hulu minyak dan gas (migas) merupakan salah satu sektor usaha nasional yang telah memberikan kontribusi yang siginifikan bagi kesejahteraan masyarakat di Tanah Air. Hingga saat ini, industri hulu migas masih menjadi pionir penting dalam menjalankan roda perekonomian Indonesia.

Namun, sektor ini tengah menghadapi tantangan serius, yakni pandemi Covid-19 yang tak jua berakhir, sehingga usaha untuk peningkatan produksi terhambat. Padahal, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencanangkan target produksi 1 juta barel minyak per hari (BOPD) dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD) tahun 2030.

Terkait target produksi 1 juta barel minyak per hari (BPOD), pakar migas, Mamit Setiawan menuturkan bahwa target tersebut bukan hanya tanggung jawab SKK Migas semata, melainkan juga para stakeholder lainnya, seperti Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kementerian Lingkungan Hidup, dan lain-lain. Menurutnya, tanpa dukungan semua pihak, target tersebut akan berat untuk dicapai.

“SKK Migas, dengan program saat ini seperti menjaga produksi eksisting agar tidak mengalami decline rate yang tinggi, optimalisasi potensi yang ada dengan berbasis peningkatan sumber daya baik SDA maupun SDM, peningkatan kegiatan EOR (Enhance Oil Recovery), serta peningkatkan kegiatan explorasi merupakan langkah yang tepat untuk mencapai target. Kita masih punya waktu yang cukup dalam mencapai target tersebut,” tutur Mamit Setiawan kepada Mata Indonesia News.

Mamit yang merupakan Direktur Eksekutif Energy Watch itu kemudian menuturkan kendala yang dihadapi oleh SKK Migas dalam mewujudkan target produksi 1 juta barel minyak per hari (BOPD) dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD) tahun 2030.

“Saya kira cukup banyak yang dilakukan dalam mencapai target tersebut. Seperti 4 hal yang sudah dilakukan oleh SKK Migas saat ini merupakan upaya teknis yang harus dikejar. Momentum kenaikan harga minyak dunia juga merupakan peluang yang harus dimanfaatkan seoptimal mungkin demi mengejar target tersebut,” sambungnya.

Adapun empat strategi untuk mendukung long term plan (LTP), yaitu Improving Existing Asset Value, Resource to Production (R to P), Enhanced Oil Recovery (EOR), dan exsploration. Empat strategi tersebut disusun untuk tetap memprioritaskan kegiatan-kegiatan dalam menemukan cadangan migas baru di masa mendatang dan mempercepat produksinya.

Hal ini sejalan dengan visi SKK Migas untuk mencapai produksi minyak 1 juta barel minyak per hari (BOPD) dan 12.000 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) gas tahun 2030.

Sementara pada Improving Existing Asset Value, ada tambahan produksi dari Program FTG (filling the gap), yakni minyak sebesar 18.300 BOPD dan gas sebesar 17 MMSCFD. Selain itu, telah dicapai kesepakatan terkait investasi awal di blok Rokan, untuk mendukung program pengeboran pengembangan yang masif dan agresif, yakni penambahan 200 sumur.

Langkah ini akan menjaga produksi rokan saat transisi dan produksi yang berkelanjutan dimasa yang akan datang. Sementara untuk program R to P, SKK Migas mendorong percepatan onstream POD lapangan PB blok Mahato & lapangan KBD blok Sakakemang.

Selain itu, ada Massive Development Plan (MDP), dengan rincian 3 MDP disetujui (88 MMBOE); 3 MDP diajukan ke Menteri ESDM (450 MMBOE); 3 MDP dalam evaluasi (200+ MMBOE). Ada juga pengeboran empat sumur deliniasi di Natuna dalam upaya percepatan pengembangan undeveloped discovery.

“SKK Migas bisa mendorong KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) untuk terus menjaga produksi dengan melakukan kegiatan Work Over dan Well Service, melakukan kegiatan pengeboran sumur produksi, memulai kegiatan EOR, mengingat EOR ini terkendala dengan nilai keekonomian harga minyak dunia serta membutuhkan waktu yang lama untuk bisa menghasilkan serta biaya yang tidak sedikit,” lanjutnya.

Hal lain diluar teknis juga sangat berpengaruh, yakni kepastian hukum dan kepastian investasi adalah hal yang utama. Revisi UU Migas No 22/2001 harus segera di selesaikan, kata Mamit. Insentif fiskal harus diberikan kepada investor. Selain itu, kemudahan perizinan, jaminan dari gangguan sosial harus di berikan, serta dukungan dari stakeholder lain adalah keharusan.

Selain itu, harga minyak dunia yang fluktuatif juga menjadi tantangan terbesar SKK Migas dalam mewujudkan target tahun 2030. Jika harga turun terlalu jauh, maka keekonomian lapangan migas akan terganggu bahkan tidak ekonomis.

Untuk mewujudkan target tersebut, Indonesia dapat belajar dari Mesir yang berhasil meningkatkan cadangan dan produksi hanya dalam kurun waktu dua tahun! Tenaga Ahli Komite Pengawas SKK Migas, Nanang Abdul Manaf menuturkan, tahun 2015 sampai 2017, Negeri Piramida dapat mengeksplorasi secara masif dengan menggandeng lembaga geosains dunia.

Hasilnya, banyak investor yang tertarik untuk menanamkan modal setelah melihat hasil data yang ditawarkan. Hasil dari proses tersebut merupakan giant field yang mencapai 4o trillion cubic feet (tcf) gas dan telah mulai produksi.

“Mereka cepat melakukan reformasi dan survei 3D dengan masif lalu penemuan dan produksi. Proses efisien dan efektif ini yang ditunggu, investor butuh kecepatan,” kata Nanang.

Lain Mesir, lain pula Kolombia. Negara yang terletak di Amerika Selatan itu lebih mengutamakan investor. Di mana pemerintah Kolombia tidak memberlakukan special tax untuk para penanam modal dan adanya flesibilitas perpajakan. Sehingga meski harga minyak sedang turun, para investor tetap dapat menjalankan bisnis dan investasinya tanpa perlu khawatir akan pajak.

Bila semua elemen dapat dijalankan dengan baik dan para stakeholder turut berperan aktif, maka industri hulu migas Indonesia akan bangkit dan target 1 juta BOPD dan 12 BSCFD pada 2030 bukanlah suatu perkara sulit.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pilkada Serentak Tinggal Menunggu Hari, Pengamat Politik Ingatkan 12 Kerawanan Ini

Penyelenggaraan Pilkada serentak pada 27 November mendatang mendapat sambutan positif, terutama dalam hal efisiensi biaya dan penyelarasan pembangunan. Menurut Yance...
- Advertisement -

Baca berita yang ini