MATA INDONESIA, JAKARTA – Sejumlah oknum yang berideologi radikal kerap memanfaatkan kebebasan berekspresi untuk menebarkan radikalisme secara masif. Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi mengatakan bahwa ini tantangan yang tidak mudah karena demokrasi harus berhadapan dengan pihak yang berideologi radikal dan ekstrem.
“Ini tantangan yang tidak mudah bagaimana demokrasi dan HAM dealing dengan isu radikalisme dan terorisme,” kata Hendardi kepada Mata Indonesia News, Jumat 12 Februari 2021.
Maka untuk menangani persoalan ini, ia mengedepankan upaya penegakkan hukum dibandingkan dengan pendekatan keamanan.
“Cara terbaik penanganannya adalah dalam kerangka criminal justice system dan rule of law. Tidak dengan pendekatan keamanan apalagi perang,” kata Hendardi.
Upaya penegakkan hukum sudah dilakukan terhadap salah satu ormas radikal yaitu Front Pembela Islam (FPI). Pemerintah sudah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 220/4780, Nomor M.HH/14.HH05.05 Tahun 2020, Nomor 690 Tahun 2020, Nomor 264 Tahun 2020, Nomor KB/3/XII/ Tahun 2020, dan Nomor 320 Tahun 2020 tentang Larangan Kegiatan Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI.
Dalam SKB tersebut, penggunaan simbol dan atribut FPI dilarang di dalam wilayah hukum Republik Indonesia. Hal ini tertuang dalam poin nomor 3. Masyarakat pun juga diminta melapor bila ada penggunaan simbol dan atribut FPI.
Selain itu di ranah kementerian juga ada aturan serupa yang dikeluarkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Aturan yang dikeluarkan yakni melarang aparatur sipil negara (ASN) berafiliasi dengan ormas terlarang.
Langkah tegas ini tertuang dalam Surat Edaran Bersama Menteri PANRB dan Kepala BKN No. 02/2021 dan No. 2/SE/I/2021 tentang Larangan ASN untuk berafiliasi dengan dan/atau Mendukung Organisasi Terlarang dan/atau Organisasi Kemasyarakatan yang Dicabut Status Badan Hukumnya.